[Nusantara] Denny J.A. : Atas Nama Islam

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Sep 22 12:12:40 2002


Denny J.A. : Atas Nama Islam

Direktur Eksekutif Yayasan Universitas Dan Akademi
Jayabaya 

Sebuah kerikil dalam ekspresi kebebasan. Inilah
respons spontan yang 
muncul mengikuti aktivitas kelompok Islam Mujahidin.
Belum selesai 
kasus tekanan mereka kepada RCTI dan SCTV atas iklan
"Islam Warna-
warni", kini kembali mereka menekan TPI dan Lativi
atas iklan "Kondom 
Anti-HIV/AIDS". Atas nama Islam, mereka mengancam
media elektronik 
agar tidak lagi menyiarkan iklan itu. 

Praktis, kejadian ini tak banyak mendapatkan porsi
berita di media 
massa. Namun, secara perlahan, peristiwa ini akan
cepat menjadi virus 
dan membahayakan kelangsungan proyek demokrasi, yang
secara susah 
payah sedang kita bangun. 

Di Indonesia, atau di mana pun, demokrasi akan sulit
terkonsolidasi 
tanpa menguatnya kultur demokrasi. Sementara itu,
kultur demokrasi 
sulit menguat jika elite yang berpengaruh tidak
menghormati 
keberagaman pandangan. Di negara yang makin kompleks,
setiap individu 
memiliki riwayat hidupnya sendiri. Suka ataupun tidak,
dalam wilayah 
sebuah negara nasional, akan terdapat banyak sekali
keberagaman tak 
hanya dalam cara berpikir, tapi juga dalam hal
ideologi, agama, 
interpretasi agama, serta gaya hidup. 

Negara otoriter melarang keberagaman itu. Namun,
demokrasi justru 
membiarkannya, sebagaimana sebuah kebun yang
membiarkan seribu bunga 
berkembang. Demokrasi bahkan membolehkan setiap
individu untuk 
mempengaruhi pihak lain, melalui aneka saluran yang
diakui oleh 
sistem demokrasi, seperti media massa, seminar,
pelatihan. Politik 
pada dasarnya adalah forum untuk mempengaruhi publik.
Jika sebuah ide 
dilarang dikampanyekan, lalu apa gunanya ruang publik?


Inilah yang dilakukan kelompok Mujahidin. Mereka
melarang pihak yang 
berbeda pandangan untuk kampanye. Mereka menekan SCTV
dan RCTI untuk 
tidak mengiklankan kampanye Islam liberal. Padahal,
Islam liberal 
tentu punya hak untuk berpikir dan kampanye bahwa
Islam itu warna-
warni. Sebagaimana kelompok Mujahidin juga punya hak
untuk berpikir 
bahwa Islam itu tidak warna-warni, tapi tunggal. 

Atas nama Islam, kelompok Mujahidin kini kembali
bereaksi atas 
iklan "Kondom Anti-HIV/AIDS". Satu hal yang wajar jika
mereka tidak 
setuju dengan kampanye kondom, kampanye anti-AIDS,
ataupun kampanye 
terselubung yang tidak melarang seks bebas. Namun,
kelompok ini 
melangkah terlalu jauh jika mereka mengancam media
untuk tidak 
menyiarkan aneka gaya hidup yang bertentangan dengan
kepercayaan 
mereka. Hal sebaliknya dapat ditanyakan, apakah
kelompok Mujahidin 
ini juga rela jika gaya hidup mereka dilarang
disosialisasikan 
melalui media? 

Kultur demokrasi hanya dapat bertahan jika berdiri di
atas prinsip 
yang diletakkan Voltaire. Filsuf Prancis ini suatu
ketika 
menyatakan, "Saya tidak setuju pendapat Tuan, namun
hak Tuan 
menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati."
Pernyataan ini 
yang kemudian menjadi prinsip terpenting dalam
kebebasan berpendapat. 
Islam liberal boleh saja tak setuju pendapat kelompok
Mujahidin, 
namun hak kelompok Mujahidin untuk menyatakan
pendapatnya harus 
dibela. Hak yang sebaliknya juga harus terjadi. 

Media massa harus tetap dibolehkan menyalurkan semua
opini yang 
bertentangan itu. Sekali ada satu kelompok yang mulai
menekan dan 
mengancam agar pandangan tertentu tidak disiarkan,
maka ibarat tinju, 
kelompok itu bertarung dengan memukul bagian di bawah
perut. Dalam 
pertandingan profesional, sang petinju itu seharusnya 
didiskualifikasi dan dianggap tidak layak untuk ikut
dalam sebuah 
pertandingan yang fair. 

Namun, tentu saja sangat absurd jika kita berharap
semua kelompok 
untuk menghormati perbedaan pendapat dan prinsip
demokrasi di atas. 
Di mana pun, bahkan di Eropa Barat dan Amerika Serikat
sekalipun, 
akan tetap ada individu atau kelompok yang ingin
memonopoli 
kebenaran. Lalu, atas nama "Tuhan" kelompok ini merasa
berhak 
menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh
disiarkan secara 
publik. 

Untuk menghadapi kelompok ini, dunia pers serta media,
pemerintah, 
dan civil society yang peduli dengan kultur kebebasan,
mesti 
mengembangkan respons yang konsisten. Kalangan pers
dan media adalah 
pihak yang sangat berkepentingan dengan kebebasan.
Hanya dengan 
kebebasan itu mereka dapat melakukan investigasi dan
menyiarkan aneka 
informasi. Ibarat ikan, kebebasan itu adalah air bagi
pers dan media. 

Justru karena pentingnya kebebasan itu, pers dan media
harus pula 
berani memperjuangkannya, dan jangan mudah tunduk oleh
tekanan. Kata 
orang dulu, jika ingin menikmati enaknya nangka, harus
berani juga 
kena getah nangka. Akan jauh lebih baik jika RCTI,
SCTV, TPI, dan 
Lativi menganggap ancaman Mujahidin itu sebagai angin
lalu saja. 

Jika memang perlu ke pengadilan, hadapilah setiap
kelompok yang 
mengancam itu di pengadilan. Jika datang massa yang
demo di stasiun 
TV, insan media dapat memanggil polisi. JIka akan ada
barang dan 
peralatan studio TV itu yang dirusak, insan media
dapat menuntut 
kelompok yang merusak itu ke pengadilan. Hanya dengan
"berkelahi" 
demi prinsip kebebasan itu, kebebasan akan lebih
terjaga oleh mereka 
yang memang berkepentingan. Toh, semua barang berharga
di studio TV 
dapat diasuransikan sebelumnya. 

Harga kebebasan akan jauh lebih mahal ketimbang harga
peralatan 
fisik. Jika media elektronik ini terlalu cepat tunduk
pada tekanan 
massa, mereka sendiri akan membesarkan kelompok yang
mengancam untuk 
melakukan kembali hal serupa atau mungkin yang lebih
parah. 

Pemerintah melalui polisi harus pula responsif dengan
hal itu. 
Pemilik modal media massa tentu punya hak untuk takut
dan tak berani 
mengambil risiko. Apalagi jika pemilik modal itu
kalangan nonpri dan 
begitu khawatir dengan isu agama. Mereka sudah bayar
pajak, dan 
berhak atas perlindungan. Saya membayangkan akan jauh
lebih baik jika 
Kapolri sendiri membuat pernyataan publik bahwa akan
menindak setiap 
kelompok yang merusak peralatan dan mengganggu kerja
studio TV. 

Saatnya pula aneka civil society yang relevan
berhimpun dalam sebuah 
koalisi penjaga kebebasan. Mungkin dimotori oleh Islam
liberal, 
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan
lain-lain. Mereka 
membuat sebuah koalisi khusus untuk membantu pers atau
media yang 
diancam. Mereka menyediakan tak hanya ahli hukum,
bahkan jika perlu 
juga menyediakan massa tandingan untuk demo. 

Apa boleh buat. Kebebasan begitu penting untuk
dilindungi. Jika tidak 
dijaga secara all out, demokrasi akan digantikan oleh
mobokrasi, 
pemerintahan oleh aksi massa. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com