[Nusantara] Taufik Adnan Amal : Pelajaran Berharga dari Pakistan

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Sep 22 12:12:51 2002


Taufik Adnan Amal : Pelajaran Berharga dari Pakistan


Tuntutan pemberlakuan syariat Islam yang dikemukakan
sejumlah daerah 
di Indonesia beberapa waktu lalu telah menarik
perhatian kalangan 
yang berkepentingan dengannya. Ketidakjelasan konsep
syariat di balik 
usulan itu telah menyeret masyarakat ke dalam ajang
kontroversi yang 
akut. 

Kalangan yang menduga tuntutan tersebut merupakan
upaya 
pengejawantahan syariat model kaum Taliban di
Afganistan atau model 
beberapa negeri di Timur Tengah, berusaha menolak dan
memandangnya 
sebagai upaya mereorientasikan dan memasung masyarakat
ke "masa 
lampau," abad ke-7 di Makkah dan Madinah, atau abad
ke-9 di Bagdad. 

Tentu saja, upaya semacam itu tidak realistis dan
tidak mungkin 
memberikan solusi bagi persoalan-persoalan dewasa ini
yang dihadapi 
di Aceh, Sulawesi Selatan, atau Riau. Lebih jauh,
kegagalan 
formalisasi syariat di sejumlah negeri muslim juga
telah menghasilkan 
stigma dan citra buruk tentang Islam dan pemeluknya.
Sementara yang 
menyambut baik gagasan penerapan syariat, menuding
kalangan yang 
menolaknya telah salah paham dan hanya melihat aspek
punitif hukum 
Islam yang terkesan sangat menakutkan dan biadab. 

Kontroversi semacam ini tentu akan memiliki arah yang
jelas jika 
tuntutan penerapan syariat itu dilandasi dengan
konseptualisasi yang 
gamblang tentangnya. Sebab, bila yang dikehendaki
dengan terma 
syariat lebih menunjuk kepada gagasan mengenai jalan
hidup --
sebagaimana ditunjuk kata syari`ah dalam penggunaan
al-Quran (45:18 
cf. 5:48; 42:13; 7:163) dan Hadits-- maka di mana pun
dan kapan pun, 
termasuk di negeri minoritas muslim, syariat Islam
telah ditunaikan 
kaum muslim, meski dalam artian "minimal". 

Tetapi, jika terma syariat menunjuk kepada pranata
legal seperti 
dipahami dewasa ini, maka perdebatan tentang syariat
Islam akan 
merupakan kontroversi yang tidak berkesudahan.
Keragaman tradisi 
hukum dalam Islam, sebagaimana tercermin dalam
berbilangnya mazhab 
dan aliran hukum serta pemikirannya, mulai dari era
klasik hingga 
zaman modern, memperlihatkan bahwa tidak mungkin
dicapai titik temu 
dalam pendefinisian syariat Islam. 

Pakistan merupakan salah satu contoh yang bagus untuk
kasus 
kontroversi semacam itu. Elan dasar pendirian
"republik Islam" ini, 
seperti terartikulasikan dalam gagasan
pendiri-pendirinya, Iqbal dan 
Jinnah, adalah kehendak komunitas muslim --sebagai
bangsa terpisah di 
anak benua India-- untuk membentuk negara di mana
mereka mampu 
menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan
petunjuknya. 

Gagasan tentang Islam yang hendak diimplementasikan di
dalam negara 
Pakistan juga terukir jelas dalam benak para
pendirinya --yakni Islam 
yang "lebih dekat kepada semangat aslinya dan semangat
zaman modern." 
Tetapi, pemimpin-pemimpin komunitas muslim tradisional
mempersepsinya 
sebagai Islam yang berorientasi ke belakang dalam
rumusan-
rumusan "Islam sejarah." 

Akibatnya, sejak berdirinya Republik Islam Pakistan
pada 3 Juni 1947, 
negara ini mengalami kesulitan serius dalam
mendefinisikan 
keislamannya. Perdebatan-perdebatan yang
berkepanjangan dalam Majelis 
Konstituante --demikian pula hasil kompromi antara
kubu tradisionalis 
dan modernis yang terjelma dalam Konstitusi Pertama
(1956), 
Konstitusi Kedua (1962) ataupun amandemen-amandemennya
yang tidak 
memuaskan seluruh pihak-- dengan jelas merefleksikan
hal ini. 

Ketika sampai kepada hukum Islam, kesulitan yang sama
juga dihadapi 
kaum muslim Pakistan. Dalam benak kaum modernis, hukum
Islam --agar 
bisa diterapkan-- mesti dimodernisasi selaras dengan
perkembangan dan 
kebutuhan zaman. Sementara kaum tradisionalis menuntut
bahwa fiqh, 
yang dihasilkan para mujtahid lewat deduksi dan
derivasi dari Alquran 
dan Sunnah Nabi, harus diberlakukan tanpa kecuali.
Kontroversi sengit 
tentang riba dan bunga bank, pendayagunaan zakat,
program keluarga 
berencana, hukum kekeluargaan Islam, dan lainnya,
merupakan cerminan 
betapa sulitnya kaum muslim Pakistan mendefinisikan
syariat Islam 
untuk konteks negeri mereka. 

Dalam kasus program keluarga berencana, misalnya,
kelompok modernis 
mendukung gagasan kontrol penduduk untuk negara
Pakistan yang 
memiliki populasi dan angka kelahiran tinggi. Lembaga
Riset Islam 
menerjemahkan fatwa Mahmud Syalthut, Syaikh al-Azhar,
yang mendukung 
program tersebut. Tetapi, kelompok tradisionalis
menegaskan bahwa 
Islam tidak mendukung gagasan kontrol penduduk.
Penggunaan alat-alat 
kontrasepsi, menurut mereka, akan mengarah kepada
indiskriminasi 
hubungan seksual. Bahkan, dalam sebuah konperensi
ulama, dinyatakan 
bahwa kalau Firaun telah membunuh anak-anak lelaki
Bani Israel, 
sementara orang-orang pagan Arab telah membunuh
anak-anak wanitanya, 
maka Pemerintah Pakistan lebih buruk lagi: lewat
program keluarga 
berencananya, ia telah membunuh baik anak lelaki
maupun wanita. 

Dalam perdebatan yang seru itu, kaum modernis merasa
sulit memutuskan 
kaitannya dengan masa lampau dalam menerima
nilai-nilai modern, 
sementara kaum tradisionalis juga menemui kesulitan
membebaskan diri 
secara total dari masa kini dan mencari perlindungan
yang aman di 
masa lampau. Kaum modernis menuduh oposan mereka telah
menyembah 
sejarah, bukan Tuhan, lantaran kecenderungan
menghidupkan masa silam. 
Sebaliknya, kalangan tradisionalis menuduh kubu
modernis memiliki 
keyakinan buruk karena memandang definisi mekanis
syariat Islam dalam 
terma-terma Barat modern adalah yang terbaik, dan
menolak keberatan 
terhadap otoritas masa lampau yang tidak dapat
diganggu-gugat. 

Akibatnya adalah kekacauan dan kerancuan dalam
definisi "Islam" yang 
menyertai pengalaman kenegaraan Pakistan.
Kompromi-kompromi yang 
dicapai tentu saja tidak selaras dengan modernisasi
yang dikehendaki 
kubu modernis ataupun status quo yang hendak
dipertahankan kelompok 
tradisionalis. Ajang kontroversi pun akhirnya melebar
kepada aksi-
aksi penjarahan, pembakaran, terorisme dan pembunuhan
--bahkan sampai 
pada penetapan kaum Ahmadiyah Qadian sebagai minoritas
non-muslim!. 

Pengalaman ideologis Pakistan telah memberikan
gambaran suram tentang 
Islam, seakan-akan agama itu mengajarkan kepada
pemeluknya "membakar, 
menjarah, membantai" pihak-pihak yang berseberangan, 
bukan "demokrasi, kemerdekaan, persamaan, toleransi
dan keadilan 
sosial" -- meminjam ungkapan pembuka dalam
konstitusi-konstitusi 
Pakistan. 

Dapat diduga bahwa pengalaman traumatis yang sama akan
dialami 
masyarakat muslim Indonesia jika tuntutan penerapan
syariat Islam 
mendapat angin segar. Kemajemukan Islam di negeri ini,
yang tidak 
jarang bersifat antagonistis, merupakan indikatornya.
Karena itu, 
kita harus belajar secara bijak dari pengalaman
Pakistan. 

Akhirnya, salah satu sebab munculnya tuntutan
penerapan syariat Islam 
adalah kekecewaan terhadap lemahnya penegakan hukum
yang 
mengakibatkan terkoyaknya rasa keadilan masyarakat.
Aspek inilah 
semestinya yang dibenahi secara serius. Apabila hukum
telah 
ditegakkan serta secara sepenuhnya dapat mewujudkan
keadilan dan 
kebenaran, maka hukum semacam itu --dalam bentuk
apapun-- akan 
mencerminkan secara baik semangat syariat Islam.   

Taufik Adnan Amal. Penulis buku Islam dan Tantangan
Modernitas 
(Mizan, 1989). Kini mengajar di Fakultas Syariah IAIN
Alauddin, 
Makassar.


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com