[Nusantara] Liputan6.com : CIA: Dari Soekarno hingga Megawati
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 24 09:12:35 2002
Fokus: CIA di Indonesia
CIA dan Harga Nyawa Mega
23/9/2002 11:32 — Di tengah teka-teki berkepanjangan
menyangkut peran
CIA dalam proses kejatuhan Sukarno dan Soeharto, kini,
intelijen AS
membeberkan rencana pembunuhan Mega.
Liputan6.com, Jakarta: Sebuah dokumen rahasia melayang
ke meja redaksi
majalah TIME. Isinya menarik: Al Qaeda dua kali ingin
membunuh Presiden
Megawati Sukarnoputri, melalui tangan Umar Al-Faruq
alias Mahmud bin
Ahmad Assegaf. Meski belum jelas benar, info ini
menyisakan setumpuk
pertanyaan. Sebegitu pentingkah Mega dibunuh?
Jangan-jangan ini cuma black
propaganda Amerika Serikat? Belum lagi pertanyaan ini
terjawab, isu
merebak berkembang ke mana-mana. Satu hal paling
mencemaskan adalah
anggapan bahwa Indonesia tempat mangkal teroris.
"Pemberitaan TIME jelas bagian dari skenario
menyudutkan Indonesia,"
ujar Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Din
Syamsuddin. Menyudutkan?
Begini dalihnya. AS gerah melihat sikap lamban
pemerintah Indonesia
memerangi terorisme. Negeri yang panik pascatragedi 11
September ini cukup
cemas dengan gerakan Islam di Tanah Air. Pelan-pelan,
tentu juga
diam-diam, Badan Intelijen Nasional AS (CIA) bergerak.
Kelompok-kelompok
Islam radikal diintai. Tudingan bahwa Abu Bakar
Baasyir, pemimpin pesantren
di Ngruki, Sukohardjo, Jawa Tengah, disebut-sebut
sebagai hasil kerja
CIA. Peristiwa ini seolah memperpanjang rangkaian
jejak CIA di
Indonesia. Berbagai dokumen, surat, arsip, buku, dan
catatan yang bertebaran,
menguatkan hal itu.
Sulit melupakan peristiwa Perjuangan Rakyat
Semesta/Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1957-1958. Saat
itu, CIA berniat
menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka kesal karena
founding fathers terlalu
akrab dengan Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina, yang
berseberangan
ideologi dengan AS. CIA juga gusar dengan sikap
Sukarno yang menolak
bergabung ke persekutuan militer untuk melawan
komunisme (SEATO). Bagi AS,
dunia hanya dibagi dua: liberal atau komunis. Sikap
Sukarno yang
mengusung politik bebas aktif dan berada di
tengah-tengah di mata AS amat
menyebalkan. Sukarno tak jelas, kekiri-kirian, menurut
negara yang senang
disebut polisi dunia itu.
Ada catatan menyebutkan, di bawah Allen Dulles, CIA
masuk ke Indonesia.
Mereka ingin menamatkan Sukarno. Audrey R. Kahin dan
George McT Kahin
dalam bukunya, Subversi sebagai Politik Luar Negeri,
menulis dengan
gamblang. Agen CIA berulang kali menghubungi Sumitro
Djojohadikusumo, yang
memang tak puas dengan Sukarno. CIA juga menjalin
hubungan dengan
sejumlah perwira yang semuanya berpangkat kolonel,
seperti Simbolon, Fence
Sumual, Akhmad Husein, Dahlan Djambek, dan Zulkifli
Lubis.
Dengan modal ini, AS segera membiayai, mempersenjatai,
dan secara
langsung mengintervensi Indonesia. Ribuan pucuk
senjata, meriam, mortir,
senapan mesin berat, dan senjata antitank dikirim. AS
juga melatih
sejumlah prajurit Dewan Banteng dan Dewan Gajah.
Mereka diangkut dengan kapal
selam menuju pangkalan militer AS di Okinawa, Jepang.
Bahkan, AS tak
ragu mengutus penerbang Allan Pope untuk mengebom
wilayah Indonesia
bagian timur.
Pemberontakan ini gagal. Pemerintah Sukarno bisa
membendung. Lewat
komando Jenderal A.H. Nasution, pemerintah sukses
melumpuhkan
Permesta/PRRI. AS tak kehilangan akal. Gedung Putih
pun putar haluan. Selain tetap
memasok senjata buat pemberontakan di Sulawesi dan
Aceh, AS juga
membantu perekonomian dan militer Indonesia. Politik
Presiden Eisenhower
memang berdiri di dua kaki.
Kekesalan AS terhadap Sukarno tak berhenti di sini.
Dengan berbagai
cara, CIA membuat propaganda yang merugikan ayah
Megawati Sukarnoputri.
Intelijen AS menggunakan berbagai media untuk
menyebarkan fitnah dan
berita bohong. Satu di antaranya dengan membuat film
cabul. Dalam sebuah
film digambarkan Sukarno berbuat kurang ajar terhadap
seorang pramuria
Soviet dalam penerbangan ke Moskow. Belakangan
diketahui bahwa Kepala
Keamanan CIA era Allan Dulles, Sheffield Edwards
pernah mengontak
kepolisian Los Angeles untuk dibuatkan film cabul
dengan peran pria yang mirip
Bung Karno. Kabar ini diperkuat tulisan Lisa Pease di
majalah Probe
(1996). Pembuatan film itu melibatkan Robert Maheu,
sahabat milyarder
Howard Hughes, serta bintang terkenal Bing Crosby.
Namun, cara ini juga tak efektif. AS bertambah gusar.
Mereka nekat
ingin membunuh Sukarno. Puncaknya terjadi pada
peristiwa peledakan di
Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, 30 November 1957.
Sebelas orang tewas dan
30 cedera dalam insiden tersebut. Meski motif
pelemparan granat masih
simpang siur, keterlibatan CIA di balik peristiwa itu
susah ditepis.
Adalah Presiden Eisenhower langsung yang mempersiapkan
invasi ke Indonesia
sepekan setelah Peristiwa Cikini. Sedangkan
operasional di lapangan
dirancang Kolonel Zulkifli Lubis.
Jejak CIA juga terlihat dalam peristiwa Gerakan 30
September 1965.
Motif pembunuhan tujuh perwira TNI AD yang dilakukan
Partai Komunis
Indonesia tak jelas. Ada ratusan tulisan membahas
peristiwa tersebut. Menurut
Dr Peter Dale Scott dari University of California,
Berkeley, CIA
terlibat dalam hiruk-pikuk itu. Organisasi ini
menggunakan trik disinformasi
untuk mengacaukan Indonesia. Di kalangan PKI beredar
dokumen rencana
Dewan Jenderal akan mengkudeta Sukarno pada 5 Oktober
1965. Jika kudeta
berhasil, TNI dikabarkan akan memusnahkan semua kader
PKI. Sebaliknya,
tentara memegang dokumen yang mengungkapkan rencana
PKI mendongkel
Sukarno dengan cara menghabisi para jenderal.
Teganglah Jakarta, di tengah
inflasi yang meroket sampai 600 persen.
Menurut Scott, CIA berhasil mengacaukan Indonesia
dengan amat sempurna.
Secara sistematis mereka menyebarkan berita "Ibu
Pertiwi Tengah Hamil
Tua", sebuah kata yang amat populer saat itu. Staf
Counterintelligence
CIA Seksi Komunisme Internasional (1952-1977) Ralph
McGehee menyebutkan,
pola disinformasi ini adalah hal biasa yang dilakukan
CIA. Tujuannya
untuk mendiskreditkan pemimpin yang menghalangi
kepentingan AS. Mereka
sengaja menggelindingkan bola salju untuk disepak
siapa saja.
Sejarah mencatat ratusan ribu orang tewas pada saat
itu. Panglima
Kostrad Mayor Jenderal Soeharto berhasil menguasai
keadaan. Sejumlah
fasilitas vital negara langsung dikuasai. TNI yang
baru kehilangan para
perwira terbaiknya bertekad memberantas komunis sampai
ke akar-akarnya. Di
tengah semangat itu, Kedubes AS di Jakarta memasok
daftar nama 5.000
kader PKI di berbagai organisasi. Pasokan informasi
menambah tenaga Kostrad
untuk membubarkan organisasi tersebut. Tak hanya itu.
Duta Besar
Marshall Green melaporkan, untuk menumpas PKI di Jawa
Tengah dan Jawa Timur,
AS juga mengirim senjata. Benarkah demikian? Meski
sulit menggugurkan
opini yang sudah terbentuk, Juru Bicara CIA Mark
Mansfield membantah
semuanya.
Tersiar kabar, AS tak sendiri dalam Tragedi 1965.
Direktorat Kontra
Intelijen Luar Negeri Inggris, MI-6, dan Australia,
juga ikut-ikutan
berupaya menjatuhkan Sukarno. Konspirasi ini tertulis
dalam buku Britain`s:
Secret Propaganda War 1948-77 yang ditulis Paul
Lashmar dan James
Oliver. Menurut mereka, enam bulan sebelum G 30
September pecah, MI-6
mengirim agen rahasia Norman Reddaway ke Jakarta.
Mereka ingin menggulingkan
Sukarno yang gencar mengampanyekan konfrontasi ganyang
Malaysia.
Setahun setelah tragedi G 30 S PKI, Sukarno
benar-benar jatuh. Ia
menyerahkan kekuasannya kepada Soeharto. Ada cerita
menarik soal perseteruan
dirinya dengan AS mengenai Freeport, sekitar Agustus
1965, sebulan
sebelum kasus G 30 S PKI. Ketika itu, Direktur
Freeport Agustus C. Long
melobi Presiden Kennedy agar bisa memperoleh kontrak
penambangan di
Indonesia. Meski bersahabat dengan Kennedy, Bung Karno
bergeming. Keacuhan
Sukarno membuat Long kesal.
Lisa Pease dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA,
dan Freeport
Sulphur, mengisahkan kegusaran Long. Sebagai Dewan
Penasihat Intelijen
Presiden AS untuk Urusan Luar Negeri, Long bernafsu
mendorong Sukarno
jatuh. Konon, CIA jugalah yang mempercepat peralihan
pimpinan dari Sukarno
ke Soeharto. Benar atau tidak, yang jelas, belakangan
Soeharto langsung
menyetujui kontrak dengan Freeport saat Undang-undang
Penanaman Modal
Asing disahkan pada 1967, tak lama setelah Soeharto
menjabat sebagai
presiden.
Keakraban Soeharto dengan AS di awal pemerintahan, pun
bermuara pada
keterlibatan CIA menjatuhkan penguasa Orde Baru ini
pada 1998. Bedanya
dengan cara penggulingan Sukarno yang diwarnai
melayangnya nyawa ratusan
ribu orang, lengsernya Soeharto tak seperti itu. Tak
ada pembasmian
manusia secara besar-besaran, kecuali sejumlah
mahasiswa yang menjadi
martir reformasi. CIA hanya memanfaatkan situasi
dengan memasok uang.
Konon, antara tahun 1995-1997, AS menyumbang
sedikitnya US$ 26 juta untuk
lembaga swadaya masyarakat anti-Soeharto. Tujuannya
untuk terus membentuk
opini tentang kegagalan sang Bapak Pembangunan.
Diam-diam, terjadilah disharmoni antara Soeharto dan
pemerintahan AS.
Penguasa Orde Baru ini mulai berani melawan AS. Saat
Negeri Adidaya
mengembargo senjata, Soeharto nekat mencari peralatan
militer ke negara
lain. Ketika AS mengisolir Myanmar, Soeharto pun cuek
bebek membujuk
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad menerima
Myanmar sebagai anggota
ASEAN.
Zaman bergerak, dan lagi-lagi, kerja CIA menyentuh
Indonesia melalui
isu terorisme. Sejumlah kalangan berang dengan laporan
CIA, meski ada
pula yang biasa-biasa saja. Bagaimana pun, setiap
kerja intelijen memang
menyimpan tanda tanya yang sulit terjawab. Sama
susahnya membayangkan
setumpuk berkas rencana pembunuhan Mega melayang ke
redaksi TIME. Mega
target pembunuhan? Pertanyaan yang kekanak-kanakan,
mungkin.(ULF)
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com