[Nusantara] Haruskah AS Menyerang Irak?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 05:00:27 2003


Haruskah AS Menyerang Irak? 
Oleh Dirgo D Purbo 

Memasuki awal abad ke-19, hadir seorang tokoh
terkemuka geopolitik kelahiran Inggris bernama Sir
Halford Mackinder yang juga mendapat julukan sebagai
intellectual architect dalam pemahaman prinsip
keamanan internasional. Dia mengklasifikasikan dunia
menjadi empat bagian yakni: 1. Heartland mencakup
kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island);
2. Marginal Lands mencakup kawasan Eropa Barat, Asia
Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar
daratan Cina; 3. Desert mencakup wilayah Afrika Utara
dan yang terakhir, 4. Island or Outer Continents
meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara
dan Australia. 

Menurut pandangan Mackinder, Heartland merupakan
kawasan yang mempunyai kandungan sumber daya alam
-aneka ragam mineral yang tidak tertandingi di belahan
dunia lainnya dan nantinya ke depan diperlukan tatanan
politik yang terorganisasi. Tesis Mackinder yang
dibuat pada tahun 1904 mengungkapkan bahwa tidak dapat
memprediksi siapa yang akan menguasai kawasan
Heartland ini, bisa jadi Rusia atau Jerman atau bahkan
gabungan antar Cina dan Jepang. Akan tetapi ada satu
hal yang sempat disinggung dalam tesis tersebut
bahwasanya siapapun yang akan menguasai kawasan itu
dalam kehidupan politik modern dan kondisi ekonomi
tertentu dapat melakukan pertaruhan untuk menuju ke
arah "global imperium". 

Lain halnya dengan teori geopolitik yang dikembangkan
oleh seorang kelahiran Amerika bernama Nicholas
Spykman yang mempunyai pandangan sama terhadap
Heartland (1), namun klasifikasi bagian dunia lainnya
seperti urutannya yang telah disinggung di atas
didapatkan ada sedikit perbedaan dengan teori
Mackinder di mana kawasan Marginal Land
diklasifikasikan menjadi Rimland (2), New World yang
mencakup seluruh kawasan Benua Amerika (3), dan
Offshore Continens and Islands mencakup benua Afrika,
Asia Tenggara dan Australia (4). Namun kedua tokoh
geopolitik ini sependapat dengan mengatakan bahwa:
"Who rules the World Island commands the World". 

Keterangan tersebut di atas diuraikan Colin S. Gray
dalam The Geopolitics of Superpower (1988).
Selanjutnya Gray menyinggung juga bahwasanya menjelang
tahun 1920 ada seorang profesor geograpfi dari
Universitas Munich, Karl Haushofer telah meminjam
tesis Mackinder yang dibuat tahun 1904 untuk digunakan
sebagai policy advice kepada Adolf Hitler. Haushofer
mengakui karya tulis Mackinder dengan sangat antusias
dan semangat tinggi untuk digunakan sebagai suatu
gagasan bahwasanya Jerman dapat mendominasi wilayah
Rusia seperti apa yang telah diuraikan pada metoda
gabungan negara-negara di kawasan Heartland. Begitu
besar manfaatnya tesis Mackinder bagi Jerman, akhirnya
pada tahun 1934 sampai 1937 Karl Haushofer
dipercayakan untuk memimpin German Academy. 

Tercela 

Ironisnya, reputasi nama besar Mackinder yang dianggap
sebagai ahli geopolitik yang dapat diekspresikan ke
dalam kehidupan dunia politik dan strategi kondisi
geografis, menjadi tercela yang cukup mendalam
dikarenakan gagasannya telah memberikan pengaruh yang
sangat kuat kepada Nazi Jerman. Satu hal yang perlu
dicatat juga bahwa pandangan Mackinder telah
memberikan suatu acuan toleransi yang cukup akurat
untuk memahami hubungan kontemporer antara Amerika dan
Soviet setelah Perang Dunia II. Perubahan politik dan
ekonomi international mengalami pergerakan yang
dinamis sehingga seringkali pergesekan atau friksi
antar-kepentingan nasional dari setiap negara. 

Sejak minyak menjadi satu-satunya komoditas yang
sangat strategis bagi kehidupan manusia dan semakin
sulit diketemukan cadangan minyak baru di wilayah
negara konsumen itu sendiri diiringi permintaan yang
terus meningkat, kawasan Timur Tengah menjadi ajang
perebutan pengaruh bagi negara konsumen seperti
Amerika, Inggris, Rusia, Jerman, Italia, Prancis,
Tiongkok, Jepang dan tentunya negara-negara industri
lainnya untuk mendapatkan akses jaminan suplai minyak.


Berbagai cara dilakukan oleh negara-negara Barat untuk
mendapatkan hubungan kerja sama negara penghasil
minyak di kawasan Heartland. Begitu tinggi tingkat
ketergantungan suplai minyak dari kawasan ini,
negara-negara Barat berupaya untuk membuat kebijakan
"arm sales dan security assistance" kepada
negara-negara yang mempunyai kemampuan atas jaminan
pembayarannya seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait, Oman,
UAE, Bahrain dan Iraq. Dominasi penjualan berbagai
ragam peralatan perang dari Amerika dan Inggris
setelah Perang Dunia II mulai tergeser dengan Prancis,
Jerman, Rusia, Italia. 

Setelah adanya oil shock 73 dan 79, kompetisi untuk
pemasaran persenjataan dengan teknologi yang mutakhir
semakin meningkat, terutama dari Rusia dan Prancis
yang menjualnya ke Irak. Tidak ketinggalan juga dengan
Jerman yang berupaya melakukan kerja sama di bidang
pertahanan dan keamanan dengan Arab Saudi. Prancis
telah melakukan kontrak untuk pembangunan teknologi
nuklir sebesar US$ 275 juta sehingga dicurigai oleh
negara tetangganya mempunyai ambisi menjadi pusat
pembangkit persenjataan nuklir. Begitu juga dengan
Italia yang berkeinginan untuk mengeksport teknologi
nuklir beserta materialnya ke Baghdad. (Energy
Security in the 80s: The Response of US Allies, Frans
R. Bax analis politik CIA). 

Apa latar belakang upaya penjualan alat-alat
persenjataan militer oleh negara-negara Barat yang
begitu menggebu di kawasan ini? Keseluruhannya itu
semata-mata untuk mengimbangi pembayaran impor minyak
(oil bills) dan di sisi lain tidak ketinggalan juga
tentunya untuk mendukung industri pertahanan. Henry
Kissinger menyebut kebijakan ini "recycle petrodollar"
yang mulai diterapkan setelah mengalami oil shock
tahun 1973. Amerika Serikat telah memperlihatkan
kepada dunia bahwa menjaga kawasan Timur Tengah yang
stabil merupakan bagian dari pelaksanaan panggilan
kepentingan nasional yang vital. 

Keberpihakan AS 

Ketergantungan atas impor minyak dari kawasan ini 45%
dari total konsumsi dalam negeri. Langkah inisiatif
untuk mendamaikan Israel dengan Palestina telah
mendapat sambutan yang luar biasa oleh para sekutunya.
Langkah itu berarti menurunkan ketegangan politik
antar-negara Arab dengan Israel, sehingga dapat
menurunkan juga tingkat kekhawatiran kemungkinan
terganggunya jaminan suplai minyak. 

Namun, di satu sisi keberpihakan Amerika terhadap
Israel juga sangat transparan. Terbukti sewaktu
diadakan pertemuan antar Amerika dengan sekutunya di
Venice tahun 1980, Presiden Carter mengatakan secara
terbuka "United States would veto any European attempt
to push a UN resolution supporting Palestinian
self-determination". (Hal yang sama ternyata tidak
dilakukan oleh Amerika terhadap Indonesia ketika ada
yang mengusulkan self determination untuk Timor Timur,
apalagi setelah adanya konfirmasi penemuan cadangan
minyak yang sangat besar di Celah Timor). 

Doktrin Carter yang dicanangkan pada waktu itu bahwa
kawasan Persia merupakan a vital interest of the
United States kemudian diikuti dengan suatu pernyataan
secara terbuka: "An attempt by outside force to gain
control on the Persian Gulf region will be regarded as
an assault on the vital interest of the Untied States
of America, and such an assault will be repelled by
any means necessary, including military force". Yang
sangat dikhawatirkan oleh Amerika Serikat yakni adanya
saingan dari negara lain yang masuk ke kawasan Timur
Tengah untuk melakukan perjanjian ekonomi bilateral
yang sifatnya jangka panjang dalam bentuk barter alat
persenjataan militer dengan minyak,
government-to-government contract. 

Data dari para geologis terkemuka, Irak mempunyai
potensi kandungan minyak sebesar 112 miliar barel yang
berarti menempati urutan kedua penghasil minyak
terbesar setelah Arab Saudi. Jenis minyak dari Irak
yakni Basrah Light dan Kirkuk yang mempunyai karakter
tersendiri, sweet crude oil, kandungan sulfurnya
sangat rendah dan meskipun tidak termasuk dalam bagian
OPEC basket price, dalam perdagangan international
jenis minyak dari Irak sangat mahal dan juga mempunyai
pengaruh untuk penentuan harga internasional. 

Dengan potensi ini, negara-negara konsumen
berlomba-lomba untuk melakukan kerja sama ekonomi
dengan Irak. Tampaknya hal itu telah terjadi dan
berkembang dalam lima tahun terakhir ini dengan adanya
perjanjian bilateral antara Irak dengan Rusia,
Prancis, Jerman dan Tiongkok. Rusia telah melakukan
kontrak suplai minyak jangka panjang dengan Irak;
Tiongkok melakukan penjualan peralatan militer
terhadap Irak yang dikompensasikan dengan jaminan
suplai minyaknya; Prancis telah mendapatkan konsesi
minyak yang mempunyai potensi sangat besar. 

Kondisi ekonomi Irak sangat memprihatinkan. Semenjak
diberlakukannya program Oil For food Security Council
Resolution 986 (UN-SC 986) setelah perang teluk tahun
1991, membuat ketidakberdayaan ekonomi Irak untuk
memiliki purchasing power dalam perdagangan
internasional. Salah satu upaya Irak untuk mendapatkan
ekstra devisa yakni dengan Rusia telah diupayakan
penyelundupan melalui jalur rahasia, namun dapat
diga-galkan oleh tim pengawas dari PBB yang dipimpin
Amerika. Begitu ketatnya pengawasan itu, terkesan
setiap barel yang keluar dari Irak dicatat oleh
petugas pengawas PBB. 

Sanksi ekonomi terhadap Irak oleh PBB sejak tahun 1991
tampaknya sudah memakan korban cukup banyak yang
diakibatkan penyakit radang paru-paru, sakit
pernapasan dan kekurangan gizi. Departemen Kesehatan
Irak mencatat sampai akhir tahun 2000 telah meninggal
dunia sebanyak 1.300.867 orang, 500 ribu di antaranya
anak-anak. Berbagai organisasi HAM internasional
menilai bahwa sanksi ekonomi ini telah melanggar
Geneva Convention 12-08-49, termasuk protokol tambahan
yang telah dikeluarkan pada tahun 1977. (Oil for Food,
Siapa yang Diuntungkan? SP, Mei 2000, DDP). 

Perkembangan terakhir dari tim investigasi PBB sampai
batas waktu yang telah ditentukan, belum ditemukan
adanya indikasi Irak memiliki WMD seperti yang telah
dicurigai oleh Amerika. Hasil sementara investigasi
ini membuat Jerman dan Prancis menarik dukungan
Amerika untuk menyerang Irak, kemudian disusul dengan
Rusia, Italia dan Tiongkok. Mereka telah
mempertimbangkan bahwa perang bukanlah merupakan jalan
terbaik, yang nantinya akan memicu reaksi negatif
terhadap perang internasional melawan teroris. Kalau
Amerika bersikeras untuk menyerang Irak, dukungan
utama yang pasti akan datang dari Inggris dan sudah
pasti tidak ketinggalan Australia, seperti yang selalu
terjadi di berbagai tempat. 

Bagi negara-negara yang mundur dari dukungan terhadap
Amerika untuk bergabung dalam Perang Teluk II telah
mempelajari dengan seksama bahwa nantinya bila pecah
perang di Irak akan menambah instabilitas politik
negara-negara Islam di Timur Tengah dan biasanya akan
diikuti dengan kekacauan suplai minyak sehingga dapat
mengakibatkan tingginya harga minyak. Kalau sampai ini
terjadi, selanjutnya akan bermuara pada resesi ekonomi
dunia. 

Jalan yang terbaik pada saat ini adalah melakukan
upaya diplomasi multilateral untuk menuju perdamaian,
khususnya melalui Dewan Keamanan PBB. Terlebih lagi
saat ini umat Islam sedang melaksanakan panggilan
rukun Islam kelima untuk menunaikan ibadah Haji di
Arab Saudi, yang juga masuk dalam kelompok kawasan
Heartland. 

 

Penulis adalah pengamat perminyakan.


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com