[Nusantara] Menjembatani Islam dan Barat

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 05:00:28 2003


Menjembatani Islam dan Barat 
Oleh Muhamad Ali 

Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari musibah 11
September 2001 di Amerika Serikat (AS), 12 Oktober
2002 di Bali, rencana AS menyerang Irak, dan kebijakan
wajib lapor bagi warga negara Muslim, termasuk
Indonesia, yang tinggal di AS, adalah pentingnya
kesadaran akan dialog antarperadaban, dengan
melibatkan sebanyak-banyaknya tokoh politik,
cendekiawan dan masyarakat. Hal itu terjadi karena
selama ini tidak terjadi saling memahami antardua
peradaban yang kelihatan bertolak belakang, padahal
sesungguhnya memiliki kesamaan-kesamaan. 

Peristiwa-peristiwa teror tidak hanya menimbulkan
dampak politik, keamanan, dan ekonomi, tapi juga
dampak keagamaan, budaya, dan peradaban. Kerugian
tidak hanya tewasnya ribuan orang tak berdosa,
sedihnya keluarga dan kerabat yang ditinggalkan,
hancurnya gedung, dan hilangnya pekerjaan jutaan
pegawai penerbangan internasional, tapi juga
merebaknya pelecehan dan sentimen anti-Arab dan
anti-Islam di negara-negara Barat dan Eropa, serta
anti-Amerika, anti-Barat, dan anti-Kristen di
negara-negara berpenduduk Muslim. 

Bahasa-bahasa keagamaan seperti jihad dan kafir pun
diangkat sebagian umat beragama. Osama bin Laden
sendiri membuat pernyataan tertulis yang menunjuk
Amerika, Kristen, Yahudi, dan sekutu-sekutunya sebagai
musuh Islam, dan menyerukan umat Islam untuk
"berjihad". 

Di pihak lain, di media massa Barat, citra Islam
sebagai agama teroris belum surut, masih saja bernada
peyoratif dan negatif, bahwa Islam membenarkan
terorisme. Terakhir, kebijakan imigrasi pemerintah AS
terhadap sebagian warga negara dari negara-negara
Muslim (termasuk Indonesia) yang studi dan tinggal di
AS, dianggap diskriminatif dan tidak bersa- habat. 

Memang benturan antarperadaban tidak ditemukan, tetapi
disalahgunakan (Bassam Tibi, 1995). Sejarah umat
manusia adalah sejarah peradaban-peradaban yang
berbeda, di mana berbagai budaya eksis. Di era
globalisasi saat ini kebutuhan akan jembatan-jembatan
yang menghubungkan Islam dan Barat makin mendesak. Ada
banyak jalan, tapi banyak pula hambatan. 

Pengetahuan yang tidak lengkap (lack of knowledge)
tentang agama dan peradaban lain menjadi salah satu
penyebab makin sulitnya membangun hubungan yang
bersahabat antarkelompok yang berbeda. Masing-masing
merasa cukup dengan informasi yang diterima, tanpa
melalui proses check and balances. 

Kecongkakan Budaya 

Kecongkakan budaya (cultural arrogance) bahwa sistem
agama, budaya, dan peradaban yang dianutnya yang
paling unggul, membuat seseorang tidak berdaya untuk
tidak mengecilkan sistem agama, budaya, dan peradaban
lain. Identitas diri begitu kuat sehingga menafikan
identitas the Other. Publik Barat masih menganggap
budaya dan peradaban mereka lebih maju, lebih superior
dibandingkan peradaban Timur, dan selalu berusaha
melalui penguasaan berbagai media informasi untuk
mencitrakan bahwa superioritas itu adalah keniscayaan
sejarah modern. Tradisi orientalisme (yang intinya
memandang the Orient sebagai monolitik dan inferior)
adalah salah satu ekspresi superioritas itu, seperti
telah dikritik Edward Said. 

Ada pula kendala teologis. Barat begitu bangga dengan
karakter keagamaannya dan sekulerismenya, sementara
masyarakat Muslim fanatik dengan sistem budayanya yang
kaffah (sempurna) dan diyakini bertentangan secara
diametral dengan peradaban Barat. 

Banyak Muslim masih terlena dengan tekstualisme dalam
bentuk penghidupan kembali konsep dar al-Islam dan dar
al-harb bikinan mujtahid masa lalu ketika kekhalifahan
Islam masih ada. Misalnya, negara AS dicap dar al-harb
(negara wilayah perang) dan orang-orang Amerika
dianggap kafir harby (yang wajib diperangi). Tentu
saja pemahaman seperti itu tidak cocok dengan konsep
negara-bangsa (nation-state) yang dianut semua negara
Muslim saat ini. Apalagi, Amerika adalah negara yang
pluralistik, di mana Islam berkembang pesat dan dianut
tidak hanya oleh pendatang tetapi juga pribumi.
Kehidupan keagamaan di Amerika pun cukup semarak.
Meskipun negaranya disebut sekuler, masyarakatnya
tidak selalu sekuler. 

Pemahaman sebagian kaum Muslim bahwa seluruh warga AS
pro-zionisme Israel juga tidak didukung fakta. Cukup
banyak orang Yahudi yang anti-zionisme dan sangat
aktif berkampanye anti-penjajahan modern Israel atas
Palestina. Begitu pula banyak masyarakat AS, termasuk
kalangan agamawan, memprotes rencana serangan AS ke
Irak. 

Sebagian Muslim pun masih enggan mempelajari sejarah
dan tradisi Barat. Tradisi oksidentalisme (ilmu
tentang Barat) belum mendapat tempat di dunia Timur.
Padahal, oksidentalisme bakal membantu terjalinnya
hubungan Barat dan Timur secara akademik dan kultural.
Hal itu juga akan mengembangkan tradisi dialog (bukan
monolog) antarperadaban. Dunia Timur akan belajar
sejarah Barat sebagai sebuah peradaban. 

Kendala lain adalah ang-gapan bahwa demokrasi dan
civil society berasal dari Barat. Oleh masyarakat yang
cenderung memolitisasi agama dan fundamentalistik
anti-Barat, demokrasi dan civil society dianggap
sebagai solutions imported from the West (al-hulul
al-mustawradah) dan karena itu harus ditolak. Padahal,
nilai-nilai persamaan dan partisipasi yang menjadi
inti demokrasi dan civil society juga terdapat dalam
Islam. 

Paradoks 

Anti-Barat di satu sisi dan anti-Islam di sisi lain
memperlihatkan paradoks globalisasi. Seperti kata
David Held, globalisasi dalam wilayah-wilayah
komunikasi dan informasi tidak menciptakan a sense of
common purpose. Karenanya hambatan-hambatan politik
dan budaya tetap besar. 

Kendala politik tidak kalah berpengaruh terhadap
sulitnya dialog. Politik luar negeri Amerika yang
masih menyisakan banyak masalah bagi dunia Muslim
seperti standar ganda menyangkut konflik
Palestina-Israel dan dukungannya terhadap rezim
otoriter negara-negara Arab, ketidaksensitifan
pemerintah dan pengamat Barat yang cenderung
menggeneralisasi dunia Muslim. 

Banyak pakar dunia, termasuk Huntington dan banyak
kalangan umat Islam tidak memberikan kemungkinan
berkembangnya visi hidup yang lebih dialogis dan
harmonis. Huntington tidak melihat sejarah harmonis
umat manusia, termasuk antara umat beragama dan
peradaban yang berbeda. Ia lebih tertarik dengan
perbedaan-perbedaan tradisi, agama, dan peradaban umat
manusia, daripada persamaan-persamaan dan hubungan
serasi dalam sejarah masa lalu dan masa sekarang. 

Ia juga melihat Islam sebagai satu entitas monolitik,
seperti halnya Barat sebagai satu entitas lain yang
juga monolitik. Seolah tidak ada saling mempengaruhi
dan melengkapi dalam kehidupan masyarakat dan bangsa
di dunia. 

Sikap terbuka (open-mindedness) dari kedua pihak
adalah prasyarat bagi upaya menjembatani
kesenjangan-kesenjangan itu. Kita membutuhkan
pendekatan lintas budaya (Bassam Tibi, 1997).
Demokrasi dan civil society adalah jembatan Islam dan
Barat. Kesatuan Islam dalam hal pandangan dunia dan
keberagamaan Islam dalam hal budaya-budaya lokal dapat
disebut peradaban Islam. 

Memang ada garis-garis pemisah antara
peradaban-peradaban dunia. Tetapi karena semua umat
manusia, tanpa kecuali, merupakan kesatuan kemanusiaan
(one humanity), seharusnya ada nilai-nilai bersama
yang menyatukan seluruh manusia demi perdamaian dunia.
Nilai-nilai itu, menurut Tibi, adalah demokrasi dan
civil society. Atau menurut Adam Seligman (1992),
persyaratan pokok bagi demokratisasi dan perdamaian
demokratis adalah pengembangan civil society. 

Mengapa demokrasi? Demokrasi tidak menginginkan
perang. Demokrasi mengatasi konflik dengan cara-cara
damai melalui negosiasi. Atas dasar pluralisme budaya,
bukan universalisme ataupun relativisme, karena kedua
hal itu cenderung menimbulkan benturan dan
membahayakan perdamaian dunia. (The limits of
pluralism: Neo-absolutism and relativism, 1994).
Benturan antar-peradaban pada dasarnya adalah benturan
antara fundamentalis. (Michele Schmiegelow, 1997). 

Esensi dialog adalah pertemuan antara orang-orang
dalam suasana saling percaya, terus terang, dan jujur.
Orang Islam dan orang Kristen, orang Arab dan orang
Amerika, berkumpul dalam satu tempat untuk berbicara
dan mendengar. Tujuan dialog antar-peradaban adalah
terciptanya saling memahami, saling menghormati, dan
saling belajar, dan bekerja sama. 

Masing-masing pihak seharusnya membumikan pluralisme
paradaban. Karena peran media massa begitu penting,
maka misalnya, media massa di Barat menurunkan tulisan
tentang apa itu Islam dan sejarah Islam secara lebih
objektif. 

Lembaga-lembaga non-pemerintah yang bergerak dalam
dialog agama dan peradaban kini semakin diperlukan.
Informasi yang lebih lengkap mengenai sesuatu yang
menyangkut diri sendiri dan orang lain sangat
dibutuhkan. Tokoh-tokoh politik, agamawan, dan ilmuwan
seharusnya lebih banyak lagi melibatkan diri mereka
dalam dialog antaragama dan peradaban. 

Kajian yang lebih intens tentang hubungan agama dan
modernitas terasa makin penting dilakukan. Hubungan
antara nilai-nilai Islam dan demokrasi, pluralisme,
perdamaian, dan HAM, harus terus mendapat tempat dalam
ruang publik, tidak berkutat pada simbol-simbol agama.
Dengan begitu, kita sedang menyemai masa depan
peradaban dunia yang lebih damai dan konstruktif. 

 

Penulis adalah dosen Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com