[Nusantara] Oportunisme, Tradisionalisme, dan Radikalisme

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 09:00:31 2003


Oportunisme, Tradisionalisme,   dan Radikalisme 
Oleh Siti Jumaroh S

Hari ini, tanggal 31 Januari 2003, merupakan hari
bersejarah bagi Nahdlatul Ulama (NU). Karena hari ini
tepat 77 tahun organisasi yang sekarang memiliki 40-an
juta anggota ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari dan
ulama terkemuka lainnya di Surabaya Jawa Timur. Tentu
dengan umur 77 tahun NU telah menjaring pengalaman
hidup yang tidak sedikit dan harus diperhitungkan oleh
orang NU sendiri maupun kelompok-kelompok lain. Hidup
di roda atas, di bawah, pahit getir, dan jatuh bangun,
semua pernah melekat pada NU. Kelanggengan NU hingga
hari ini, merupakan pelajaran berharga betapa
cekatannya NU mendayung bahtera di tengah entakan
gelombang dan badai.

Secara umum NU telah kenyang dengan pengalaman
membangun jam'iyah diniyah,
bertarung di wilayah politik praktis, dan juga kembali
lagi ke organisasi jam'iyah diniyah, kemudian di susul
era terakhir, membangun kembali partai melalui jalur
PKB, meski dengan "malu-malu". Artinya, bahwa berbagai
dunia pernah digeluti NU, dan tampak berubah-ubah dan
melompat-lompat. 

Keputusan dari satu wilayah ke wilayah lain, tentu
membutuhkan kejeniusan sekaligus ketajaman berfikir
dan bertindak. Meskipun disisi lain orang seperti
pakar Indonesia Ben Anderson sering bilang sikap NU
tersebut sebagai oportunis.
Cara pandang dan kesimpulan Benedict Anderson tentang
NU di atas berbeda dengan pembacaan Mitsuo Nakamura.
Menurut antropolog asal Jepang ini, meskipun dianggap
sebagai organisasi tradisional tetapi sejatinya NU
sangat radikal dalam arti yang orisinil, yang disebut
Nakamura sebagai tradisionalisme radikal.

Keradikalan NU tampak dalam struktur organisasi yang
otonom dan independen dari unit-unit komponen utama.
NU juga tampak radikal dalam politik. NU sangat kritis
terhadap negara, dan selalu membaca arena pertandingan
dalam setiap keputusan-keputusan politiknya. NU juga
bersifat tradisional dalam arti yang vital, membangun
kehidupan beragama dan transmisi nilai agama melalui
tradisi pendidikan.

Namun demikian, tradisionalisme NU tidak berarti
muatan yang ditransmisikan
juga bersifat tradisional. Karena apa yang ditran
misikan tersebut adalah sesuatu yang ideal. Bentuk
transmisi bisa tradisional tetapi yang ditransmisikan
bisa sangat radikal. 

Ketiga bingkai tersebut (radikalisme organisasi,
situasionalisme politik, dan tradisionalisme
keagamaan) dapat dijelaskan dalam suatu kerangka bahwa
keyakinan NU pada tradisi sunni menopang otonomi ulama
dan memperkuat institusionalisasi tradisi dalam
struktur NU. Tradisionalisme keagamaan meningkatkan
radikalisme organisasinya dan membuatnya berperilaku
selektif secara situasional yakni adaptif-radikal vis
a vis politik eksternal. Dalam situasi yang berlawanan
secara politik, radikalisme organisasi memunculkan
perannya sebagai artikulator kesumpekan politik massa
yang diabaikan.

Analisis Nakamura tersebut menurut masih layak dipakai
sebagai "guide" untuk meneropong situasi NU pada saat
sekarang ini. 
Berbekal analisis tersebut, tulisan ini mencoba
menelusup dan menyusur ke dalam wilayah keagamaan dan
gairah intelektual NU, terutama yang ada pada generasi
mudanya. 

Peran Pesantren
Pesantren merupakan kantong-kantong besar NU, di semua
wilayah. Dengan figur kiainya, transmisi
pengetahuan-keagamaan terus dibangun. Dengan demikian
pesantren merupakan basis utama NU, dan menjadi pusat
penggodokan ulama-ulama masa depan. Lahirnya Ma'had
'Aly diberbagai pesantren merupakan upaya nyata
pesantren betapa seriusnya mereka mempersiapkan
generasi ulama yang tangguh dan akan mengawal NU
dengan penuh kesetiaan. Orang boleh bilang NU itu
tradisional, kaum sarungan, wong ndeso, tetapi
produk-produk yang dihasilkan saya kira semua orang
tahu, betapa radikalnya orang NU itu.

Contoh paling akhir adalah hasil Munas NU di Jakarta
2002, tentang orang yang korupsi, yang tidak perlu
dishalatkan dan lain sebagainya. Betapa banyaknya
orang terkaget-kaget dengan keputusan NU tersebut.
Masak, dengan hanya berbekal kitab kuning, bisa
menghasilkan keputusan lebih radikal dari mereka yang
mengklaim memiliki pisau bedah dan analisis yang lebih
komprehensif.

Melalui pesantren inilah, kultur NU terus dibangun
oleh santri yang telah pulang ke kampung halaman.
Ajaran-ajaran keagamaan inilah yang kemudian
ditransmisikan secara langsung pada umat. Untuk
masalah-masalah yang dianggap rumit, NU juga memiliki
forum yang disebut dengan Bahsul Masail. Forum ini
dalam aplikasinya juga berjenjang, mulai dari ranting,
cabang, wilayah, hingga pusat (PB). Kesemua jenjang
tersebut memiliki forum bahsul masail.

Kedua, masalah gairah intelektualitas ummat.
Sebetulnya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari dunia
pesantren dan kiai di atas. Karena akar
intelektualitas ulama NU disamping berbasis pesantren
juga terkait dengan jaringan ulama lainnya terutama di
Timur Tengah. 
Pergulatan dan pembangunan jaringan ini sebagaimana
hasil penelitian Azyumardi Azra telah ada sejak abad
17 dan 18. Jaringan ulama tersebut kemudian tetap
berlanjut hingga sekarang, sehingga genealogi jaringan
ulama NU tampak terang. Timur Tengah (Makah, Madinah,
Mesir) merupakan kiblat intelektualitas ulama NU,
sejak jauh sebelum era Hasyim Asy'ari. Geneologi
Hasyim Asyari (misalnya) dapat ditarik ke Kiai Khalil
Bangkalan, Nawawi Banten, Mahfoudz Termas, dan terus
ke daratan Timur Tengah.


Gairah intelektualitas NU memang terkesan datar,
hingga tahun 1980-an baru tampak gairah yang
meluap-luap seiring dengan kehadiran figur Abdurrahman
Wahid dan Ahmad Shidiq.

Dan tradisi yang dibangun (terutama) oleh kedua tokoh
tersebut kini menunjukkan nyalanya, dan tampak nyata.
Generasi Muda NU yang studi di berbagai perguruan
tinggi umum maupun agama (terutama IAIN) yang gandrung
pada pemikiran dan keliaran Gus Dur, mulai membangun
komunitas untuk mengasah diri. LKiS (Lembaga Kajian
Islam dan Sosial) yang bermarkas di Yogyakarta,
misalnya merupakan salah satu lokomotif pemikiran
radikal di kalangan anak muda NU.

Di Jakarta ada Lakpesdam, P3M, dan Desantara; di
Surabaya ada Elsad; dan kantong-kantong lainnya, yang
biasanya mayoritas anak NU ada di situ.

Meskipun kegemilangan NU tampak dalam uraian di atas,
bukan berarti tanpa catatan. Beberapa catatan berikut
merupakan agenda yang mestinya segera diselesaikan
oleh NU. Pertama, pesantren yang menjadi gerbong NU,
sudah semestinya terus tetap dalam koridor al
muhafadhatu ala qadimish shaleh wal akhdu bil jadidil
ashlah (menjaga hal-hal lama yang baik dan mengambil
hal-hal baru yang lebih baik). Karena itu, bukan
saatnya lagi pesantren manapun dalam kondisi seperti
katak dalam tempurung.

Kedua, generasi progresif NU, selama ini banyak yang
tidak diakomodir NU. Akibatnya, tak sedikit anggota
komunitas NU yang berpotensi menjadi "bajing loncat"
ke kelompok lain, dengan iming-iming jabatan dan
status. Mestinya ke depan, hal seperti ini NU harus
melihat secara objektif. Agar generasi yang potensial
ini tidak lepas begitu saja. 

Ketiga, keterlibatan NU dalam politik sedapat mungkin
di rem kalau perlu di "cut" atau distop. Orang NU
silahkan berpolitik di manapun, tetapi NU tetap steril
dalam politik. Ketika NU terlalu dalam bermain politik
praktis, hampir selalu menyebabkannya dalam posisi
sulit dan terjepit. Ketika KH. Abdurrahman Wahid
menjadi presiden, NU tampak kikuk antara kritis atau
mendukung pemerintah, hingga detik-detik akhir
pelengseran tokoh yang dipandang sebagai-meminjam
bahasanya Hasyim Muzadi-jimatnya NU tersebut. 

Keempat, pilihan-pilihan perjuangan NU yang
berubah-ubah dari jam'iyah diniyah ke arena politik
praktis, dan kembali lagi ke arena politik dengan
malu-malu dan sebagainya, juga memberatkan dan
menyulitkan NU dalam bergerak dan sekaligus identitas
oportunis akan dilekatkan orang pada NU. Problem ini
cukup mendesak untuk diselesaikan oleh NU. Menempatkan
posisi dan perjuangan NU secara tegas dan jelas sangat
penting bagi NU. Semoga pengalaman masa lalu dapat
dijadikan cermin bening bagi NU ke depan. Wallahu
a'lam. 

Penulis adalah warga NU, alumnus Pondok Pesantren
Salafiyah Wali Songo Cukir Jombang dan Pondok
Pesantren Modern Gontor Jawa Timur, tinggal di
Yogyakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com