[Nusantara] Asal Bayar, Bebas Pidana dan Perdata
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 09:00:44 2003
Asal Bayar, Bebas Pidana dan Perdata
oleh wartawan "Pembaruan" Elly Burhaini Faizal
KETIKA masyarakat semakin sulit menanggung beban
kebutuhan pokok sehari-hari, terbit Instruksi Presiden
Nomor 8 Tahun 2002 yang akan menjamin debitor dan
obligor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang dianggap kooperatif dari tuntutan hukum perdata
maupun pidana (release and discharge). Inpres yang
terbit 30 Desember 2002 itu menyentakkan masyarakat.
Banyak yang kemudian bertanya apa sebetulnya yang ada
di benak para pejabat pemerintah kita?
Pertanyaan itu dilontarkan karena subsidi kebutuhan
pokok rakyat dicabut, tetapi "subsidi" triliunan
rupiah untuk bank-bank yang tidak pernah sehat malah
ditopang mati-matian. Subsidi untuk bank-bank
bermasalah itu konon jumlahnya mencapai Rp 91 triliun
per tahun. Bahkan setelah empat tahun terus disubsidi,
bank-bank bermasalah itu tetap saja sakit.
Obligasi yang dikeluarkan pemerintah hingga bulan
Januari 2002, meminjam analisis ekonomi BPPN,
jumlahnya mencapai Rp 698,99 triliun. Jika tidak
ditempuh penundaan pembayaran, jumlah pokok dan bunga
utang yang harus dibayar pada periode 2002-2009 lebih
dari Rp 100 triliun. Jumlah tersebut akan mencapai
puncaknya sebesar Rp 160 triliun pada tahun 2017 dan
2018. Beban obligasi yang harus ditanggung, menurut
sejumlah pengamat perbankan, sebetulnya tidaklah
sebesar itu apabila tidak terjadi penyalahgunaan.
Obligasi yang dikeluarkan untuk dana Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), contohnya,
ikut-ikutan dimanipulasi. Dari keseluruhan Rp 144,5
triliun dana BLBI yang dikucurkan sejak awal krisis
ekonomi hingga tanggal 29 Januari 1999, sekitar Rp
84,8 triliun disalahgunakan. Dana itu dipinjamkan
kepada perusahaan terafiliasi sebesar Rp 20,5 triliun.
Mengacu audit BPK, dana tersebut juga telah dipakai
untuk transaksi derivatif (Rp 22,5 triliun), ekspansi
kredit tanpa jaminan (Rp 16,8 triliun), pembayaran
pihak ketiga di luar kesepakatan (Rp 4,5 triliun), dan
banyak lagi. Utang domestik, contohnya, berupa
obligasi yang dikeluarkan untuk BLBI, tersebut telah
menambahi beban berat APBN negara kita. Belum lagi
obligasi untuk rekapitalisasi bank sebesar Rp 431,6
triliun, yang diterbitkan untuk mengganti kredit macet
perbankan.
Tetapi sayang, terkesan kurang ada kemauan pemerintah
untuk menyelesaikan krisis perbankan nasional. Krisis
itu sendiri antara lain dipicu pelanggaran batas
maksimum pemberian kredit (BMPK), dan penyalahgunaan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Sementara beban
APBN semakin mencekik leher rakyat.
Kematian Hendra Rahardja, mantan pemilik dan Komisaris
Utama Bank Harapan Santosa, beberapa waktu lalu di
Australia, cukup menampar wajah pemerintah kita.
Hendra dituduh menyalahgunakan dana Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia sekitar Rp 3,6 triliun. Akibat
perbuatan tersebut, negara dirugikan Rp 2,6 triliun.
Kematian Hendra kian menyulitkan upaya pemerintah
mengusut Rp 2,6 triliun kerugian negara akibat
penyalahgunaan BLBI tersebut.
Hendra cuma satu contoh kasus kejahatan perbankan
melibatkan para konglomerat hitam, yang kurang tegas
disikapi pemerintah. Bila didukung kemauan politik
yang kuat, sebetulnya tidak ada alasan krisis ekonomi
sulit diatasi. Piutang pada para debitor dan obligor
yang tergabung dalam penyelesaian kewajiban pemegang
saham (PKPS), misalnya, kalau dilunasi, akan sangat
berarti untuk menyelesaikan krisis perekonomian.
Piutang itu jumlahnya Rp 130,6 triliun, dan kabarnya
kini tinggal sekitar Rp 97 triliun.
Namun, mekanisme PKPS itu sendiri ternyata justru
banyak merugikan negara. Contohnya master of
settlement and acquisition agreement (MSAA), sebuah
perjanjian penyelesaian bantuan likuiditas Bank
Indonesia. Ketika harga jual aset para debitur
ternyata rendah, kerugian harus ditanggung pemerintah,
tanpa ada kewajiban para obligor untuk menambah aset
yang belum diserahkannya ke BPPN. Sebab recourse
kewajiban pemegang saham, hanya sebatas pernyataan dan
jaminan (representation and warranties) yang
disepakati dalam perjanjian.
"Saya tidak mengerti, kenapa pemerintah mau melakukan
aset settlement? Itulah kelemahan pemerintah,'' ungkap
Alexander Lay, anggota Departemen Hukum dan Monitoring
Indonesia Corruption Watch (ICW). Pasalnya, recovery
rate aset yang diserahkan para debitur tidak mungkin
seratus persen, melainkan cuma sekitar 20 persen saja,
akibat mark up nilai aset dan kondisi pasar yang tidak
kondusif selama krisis.
Selain MSAA, dalam rangka PKPS bagi bank beku operasi
(BBO), bank take over (BTO), dan bank beku kegiatan
usaha (BBKU), juga dibuat perjanjian pengembalian
utang dengan menambah pemberian jaminan (master of
refinancing and note insuance agreement/ MRNIA) dan
akta pengakuan utang (APU).
Ironisnya lagi, release and discharge, salah satu
klausul rangkaian perjanjian PKPS tersebut,
dimaksudkan untuk membebaskan para debitur dan obligor
berdasarkan pemenuhan kewajiban sesuai perjanjian.
Mereka dibebaskan dari segala tuntutan dan proses
hukum baik perdata maupun pidana. Polemik pun kemudian
bergulir
"MSAA itu kan ada kewajibannya, nah itu mereka penuhi
semuanya. Jadi mereka itu kooperatif. Aset diserahkan,
ada misrepresentative mereka juga mau bayar,'' kata
Raymond van Beekum, Kepala Divisi Komunikasi BPPN,
menjawab Pembaruan. Kepastian hukum diberikan kepada
para obligor yang kooperatif, sesuai janji pemerintah.
Ia justru menilai kecurigaan rencana pemberian release
and discharge kepada empat debitur dan obligor sangat
tidak masuk akal. Empat obligor itu ialah The Nin
King, Sudwikatmono, Hendra Liem, dan Ibrahim Risjad.
"Mengapa orang sudah kooperatif kok masih saja
dianggap public enemy?'' tanya Raymond sedikit kesal.
"Sementara yang lolos jerat hukum dan betul-betul
mengemplang uang rakyat kok tidak dianggap public
enemy?'' tanyanya lagi
Penghapusan Pidana
Tanpa berniat menggolongkan konglomerat hitam atau
putih, soal release and discharge wajar saja disikapi.
Persoalannya terletak pada perbuatan pidana para
debitur dan obligor itu. Contohnya pelanggaran BMPK
dan penyalahgunaan BLBI? Jaksa Agung Andi Ghalib dulu
(1999) menolak menandatangani MSAA, karena ia tidak
setuju pemberian release and discharge untuk perkara
pidana. Ketua BPPN Glen MS Yusuf dan Menkeu Bambang
Subianto, serta para obligor BPPN yang kemudian
menandatangani MSAA.
Dalam tindak pidana korupsi, Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun
1999 menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana. Demikian pula pada
UU Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991, disebutkan bahwa
presiden tidak dapat semena-mena memberi perintah
Kejaksaan untuk membebaskan seseorang yang terdapat
cukup bukti untuk diduga melakukan tindak pidana.
"Jaksa harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN
ke pengadilan, walaupun sudah mendapatkan release and
discharge dari BPPN,'' kata Iskandar Sonhaji, salah
satu anggota Tim Hukum Tolak R & D, kepada Pembaruan.
Meskipun aturan menyebut seperti itu, Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2002 menyebutkan, Kejaksaan dan
Kepolisian diinstruksikan untuk membebaskan para
debitur BPPN yang menjadi tersangka dalam proses
penyidikan dan penuntutan apabila telah mendapat
release and discharge. "Tampaknya, pemerintah
cenderung memakai pintu oportunitas Kejaksaan Agung,
ketimbang SP 3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan), untuk membebaskan para obligor tersebut
dari jerat pidana,'' Sonhaji menambahkan.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com