[Nusantara] Presiden Tidak Tandatangani UU Penyiaran

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 09:00:47 2003


Presiden Tidak Tandatangani UU Penyiaran

UU PenyiaranTetap Berlaku Otomatis 
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang
disetujui DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada 28
November 2002 telah dimasukkan dalam daftar lembaran
negara. Namun hingga kini Presiden Megawati
Soekarnoputri tidak menandatangani UU tersebut karena
adanya perbedaan pandangan terhadap materi UU. 

Hal itu terungkap dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi I
DPR dengan Sekretaris Negara (Sekneg) Bambang Kesowo
di Senayan Jakarta Rabu (5/2). Kesowo mengakui, UU
Penyiaran itu tidak ditandatangani Presiden Megawati.
Namun ia mengingatkan, sesuai dengan UUD 1945, UU
tersebut otomatis berlaku jika dalam tempo 30 hari
tidak ditandatangani presiden. 

Konstitusi tidak mempermasalahkan adanya perbedaan
pandangan menanggapi UU Penyiaran. " Masalah siaran
yang beroperasi di wilayah terbatas memang masih
mengundang perdebatan. Tapi sekarang, perbedaan
tersebut tidak relevan lagi diperdebatkan. Yang bisa
kita lakukan sekarang adalah melakukan pengkajian,"
tuturnya. 

Dalam rapat kerja tersebut KH Nadier Muhammad dan
Karmani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPP)
mempertanyakan ketidaksediaan Presiden menandatangani
UU Penyiaran. "Kalau itu yang ditanyakan, sebaiknya
bukan saya yang menjawab, saya tidak mau berpolemik,"
tegasnya. 

Meski Presiden Megawati tidak menandatanganinya,
Setneg tetap mengundangkan RUU tersebut dan
mencantumkannya dalam lembaran negara sebagai UU No
32/ 2002. Peraturan Pemerintah (PP) terhadap
pemberlakuan UU itu juga akan segera diterbitkan. 

Keberatan 

Sebagaimana diketahui, rapat paripurna DPR yang
menyetujui RUU Penyiaran, diwarnai pula penyampaian
catatan keberatan (minderheidsnota) dua anggota DPR,
yakni Engelina Patris Pattiasina dari Fraksi partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Alvin Lie
dari Fraksi Reformasi. Alvin menyampaikan keberatan
terhadap pasal yang melarang televisi swasta
beroperasi secara nasional. 

Alvin mengaku sebagai pendukung munculnya televisi
swasta lokal yang mandiri dan menguntungkan. Namun
demikian, ia mengingatkan, maraknya televisi swasta
jangan sampai mengkerdilkan televisi nasional. "
Justru seharusnya televisi swasta lokal didorong
menjadi televisi swasta nasional yang berada di luar
Jakarta," tandasnya. 

Sejumlah pasal dari 64 pasal dalam UU Penyiaran usul
inisiatif DPR ditentang keras karena dinilai akan
membelenggu kebebasan pers seperti yang terjadi di
masa Orde Baru. Asosiasi Televisi Siaran Indonesia
(ATSI) yang diketuai Karni Ilyas saat itu dengan keras
menolak RUU Penyiaran karena merugikan hak publik
memperoleh informasi seluas-luasnya. 

Penolakan serupa juga disampaikan Komunitas Televisi
Indonesia yang mendesak DPR dan pemerintah menunda
pengesahan RUU tersebut dan melakukan beberapa revisi.
Beberapa pasal yang dinilai mengancam hak publik dan
eksistensi televisi swasta berkaitan dengan kewenangan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga tersebut
dinilai akan menjadi monster baru seperti Departemen
Penerangan (Deppen) di masa Orde Baru. 

Namun, tidak semua elemen penyiaran menolak RUU
Penyiaran yang telah disahkan tersebut. Buktinya,
sejumlah elemen penyiaran lainnya seperti Indonesian
Media Law an Policy Centre, Institut Studi Arus
Informasi (ISAI), Jaringan Radio Komunitas Indonesia,
Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta, Jaringan Radio
Komunitas Jawa Barat, justru mendukung pengesahan RUU
itu. 

Berkaitan dengan UU Penyiaran, Kementrian Komunikasi
dan Informasi membuka pendaftaran calon anggota Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) di tingkat pusat. KPI adalah
lembaga independen yang akan akan terdiri dari
sembilan anggota. Informasi lebih lanjut mengenai
pendaftaran anggota KPI bisa diakses di
www.kominfo.go.id. 

Dalam bagian lain keterangannya, Kesowo mengungkapkan,
selain UU Penyiaran, UU Pembentukan Provinsi Riau
Kepulauan juga tidak ditandatangani Presiden Megawati.
Tetapi hal itu berarti bahwa UU tersebut tidak
berlaku. "Ya kita harus menerima ketidaklaziman ini,
karena konstitusi yang baru memang demikian," kata
Kesowo. 

Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 20 Ayat (5) memang
tidak mengharuskan Presiden menandatangani RUU yang
telah diundangkan. Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945
menyatakan, "Dalam hal rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan." (M-15)





=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com