[Nusantara] Registrasi Khusus yang Menakutkan Itu

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 09:00:49 2003


Registrasi Khusus yang Menakutkan Itu
Bara Hasibuan 

Keputusan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS)
untuk memasukkan Indonesia ke dalam daftar
negara-negara yang warga laki-lakinya di atas umur 16
tahun diwajibkan melakukan registrasi khusus di kantor
Immigration and Naturalization Service (INS),
betul-betul mengagetkan warga Indonesia di AS. Memang
benar bahwa sebelumnya sudah ada 20 kebangsaan yang
diharuskan mendaftar sebagai bagian dari inisiatif
baru untuk melacak puluhan ribu pendatang dari
negara-negara yang dianggap mensponsori atau diduga
memiliki jaringan terorisme. 

Namun tidak ada yang pernah memperkirakan bahwa nama
Indonesia juga akan masuk. Selama ini kebanyakan orang
percaya bahwa Indonesia, walaupun terjadi pengeboman
Bali, tidak pernah dikategorikan sama seperti
negara-negara lainnya yang dianggap oleh AS mempunyai
masalah serius soal terorisme, seperti Arab Saudi,
Syria, Iran, Sudan, Pakistan atau Irak. Tetapi
ternyata tidak demikian. Indonesia akhirnya dimasukkan
ke dalam gelombang keempat bersama-sama dengan
Bangladesh, Mesir, Yordania dan Kuwait di mana
warganya harus melapor mulai tanggal 24 Februari
sampai 28 Maret. 

Karena tujuannya adalah mencari teroris, ketentuan itu
bukan hanya menyangkut wajib lapor. Selain disidik
jari dan difoto, para pelapor juga di-interview untuk
diselidiki latar belakangnya termasuk keluarga,
pergaulan ataupun juga aktivitas agama mereka.
Interview itu mereka harus hadapi sendiri dan tidak
boleh didampingi oleh pengacara. 

Namun selama sudah lebih dari dua bulan berjalan,
banyak pihak menilai kebijakan itu tidak efektif untuk
menangkap teroris. Dari kira-kira hampir seribu orang
yang sudah pernah ditahan, misalnya, tidak ada satu
pun yang dicurigai mempunyai kaitan dengan Al-Qaeda.
Akhirnya, seperti kata ahli terorisme dari Harvard
University, Juliette Kayyem, kebijakan itu lebih
merupakan immigration sweep (penyapuan imigrasi) dan
tidak ada kaitannya sama sekali dengan mencari
teroris. 

Yang lebih mengganggu lagi, pelaksanaan kebijakan itu
dilakukan dengan melanggar prinsip-prinsip dasar
rakyat Amerika, seperti civil rights (hak-hak sipil),
civil liberty (kebebasan sipil) dan juga hak asasi
manusia. Banyak orang ditahan begitu saja setelah
interview tanpa due process of law (prosedur hukum
yang adil) seperti diberikan haknya untuk didampingi
oleh pengacara. Ada juga yang ditahan tanpa alasan
yang jelas dan hanya karena kesalahan dokumen yang
bersifat sederhana. Atau bahkan ada yang sebetulnya
tidak memiliki kesalahan apa pun namun hanya karena
proses diberikan izin tinggal tetapnya sedang meng-
alami penundaan. Yang lebih tragis, banyak pula yang
mengalami perlakuan tidak manusiawi selama dalam
tahanan. 

Contohnya, pengalaman Ali Salahieh, seorang insinyur
biomedis kelahiran Syria yang datang ke AS sebagai
pelajar 17 tahun lalu. Seperti laporan stasiun
televisi terkemuka PBS, Salahieh, yang tinggal di kota
San Francisco (California) dan sedang menunggu
dikeluarkannya status tetap kewarganegaraan pada
dirinya, selama tiga hari ia dibawa melalui jalan
darat, dalam keadaan tangan dan kaki dibelenggu, ke
sebuah fasilitas penahanan di kota Sacramento
(California) dan kembali lagi ke San Francisco. 

Perlakuan itu ia terima hanya karena dianggap ada
irregularity (ketidakwajaran) dalam status
permohonannya. Ceritanya belum selesai. Setelah itu,
melalui pesawat tahanan, ia dibawa dari kota Oakland
(California) ke negara bagian Arizona, kemudian ke
negara bagian Kentucky dan kembali ke kota Oakland.
Dari situ ia dibawa ke kota San Diego (California). Di
dalam tahanan di kota itu, ia bertemu dengan Faramarz
Farahani, seorang manajer database di sebuah
perusahaan komputer di daerah Silicon Valley
(California), yang ironisnya, walaupun lahir di Iran,
sudah menjadi warga negara Kanada. Cerita Farahani
tidak kalah tragisnya. Ia mengaku diangkut di dalam
pesawat tahanan ke lokasi yang tidak diketahui, juga
dalam kondisi tangan dan kaki dibelenggu. 

Panik dan Bingung 

Dengan bermacam cerita buruk itu, tentu banyak warga
negara RI yang panik dan bingung di seluruh AS. Bagi
mereka, registrasi khusus itu dianggap sebagai prospek
yang begitu menakutkan. Siapa pun itu, termasuk mereka
yang berstatus legal, bahkan mempunyai pekerjaan cukup
mapan seperti Salahieh dan Farahani, punya risiko yang
sama. Ada yang takut ditahan tanpa waktu yang jelas.
Ada pula yang takut dideportasi sehingga harus
berpisah dengan anak dan istri. 

Banyak pula yang tidak mampu berbahasa Inggris secara
layak sehingga takut memberi jawaban salah dalam
wawancara. Di antara pelajar, ada kecemasan tidak
dapat menyelesaikan sekolah. Mereka yang bekerja takut
kehidupan yang sudah dibangun sekuat tenaga, hilang
dalam sekejap. Mereka yang beragama Islam dan yang
beragama Kristen sama resahnya. 

Padahal kebanyakan warga Indonesia yang bekerja di AS
(total warga Indonesia di AS ada sekitar 100.000)
adalah orang-orang jujur, pekerja keras dan mempunyai
skill yang cukup. Selain menjadi buruh di pabrik,
banyak dari mereka yang juga melakukan pekerjaan kasar
seperti menjadi tukang cuci di dapur restoran, loper
koran atau kurir. Tidak pernah terpikir oleh mereka
untuk ikut ataupun simpati dengan perjuangan Al-Qaeda.
Mereka hanyalah orang-orang yang datang ke AS untuk
mencari kehidupan yang lebih layak karena krisis yang
berkepanjangan dan membuat makin sulit mencari
pekerjaan di Tanah Air. 

Namun banyak juga yang statusnya ilegal. Ada yang
overstay (melebihi batas waktu tinggal) atau belum
memiliki izin kerja dan green card. Ada pula yang
tidak punya dokumen apa pun seperti paspor karena
hilang atau ditahan majikan. Banyak pula dari mereka
yang tidak pernah lapor ke kedutaan. Ini yang membuat
kedutaan sering mengalami kesulitan untuk menolong
kalau terjadi apa-apa. 

Tentu hal itu bukan alasan bagi pemerintah untuk tidak
turun tangan. Apalagi karena banyak yang statusnya
ilegal, maka sangat mungkin akan dideportasi secara
massal atau ditahan. Pemerintahnya seharusnya sudah
belajar bahwa dalam situasi seperti itu, terutama
krisis Nunukan, lambatnya repons dapat menimbulkan
tragedi kemanusiaan. Sangat mungkin masalah itu
berakhir pula pada tragedi. Untuk itu beberapa
inisiatif harus segera diambil. 

Desk Khusus 

Yang sangat urgen bagi kedutaan tentunya adalah
membuka desk khusus untuk melayani segala macam
pertanyaan dan permintaan terutama untuk melengapi
surat-surat. Selain itu, juga harus disiapkan bantuan
advokasi hukum untuk mereka yang nantinya ditahan.
Bantuan itu bisa dilakukan dengan kerja sama dengan
beberapa kelompok advokasi hukum yang selama ini sudah
aktif memberikan pelayanan bagi warga-warga kebangsaan
lainnya. Kedutaan bersama Jakarta juga harus
menyiapkan contingency plan kalau ada yang nantinya
harus dideportasi. Kita tentu tidak ingin melihat
ribuan orang berbondong-bondong pulang dan akhirnya
harus ditampung dengan kondisi mengenaskan, seperti
kasus Nunukan. 

Yang lebih penting lagi, perlu ada usaha diplomatik,
baik yang dilakukan oleh Jakarta maupun kedutaan di
Washington, dengan menggunakan segala jalur dan sumber
daya untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar wajib
registrasi itu. Duta Besar kita harus segera menemui
beberapa pejabat terkait di sana. Duta Besar Pakistan,
misalnya, sudah menemui Jaksa Agung John Ashcroft dan
menekankan bahwa sebagai sekutu AS yang penting dalam
war on terror, Pakistan tidak pantas diperlakukan
seperti itu. Pakistan meminta agar dikeluarkan dari
daftar. Sampai saat tulisan ini dibuat belum diketahui
apakah Dubes Indonesia punya rencana untuk melakukan
hal yang sama. 

Dari Jakarta, Presiden Magawati dapat menelepon
Presiden Bush untuk menjelaskan kenapa penting
Indonesia dikeluarkan dari daftar. Usaha itu tentu
saja harus diperkuat dengan mengirimkan utusan khusus
setingkat menteri untuk bertemu dengan pejabat di
Washington yang relevan seperti Menteri Luar Negeri
Colin Powell, Jaksa Agung John Ashcroft atau Penasihat
Keamanan Condoleezza Rice. Selain kepada pemerintah,
pendekatan juga harus dilakukan kepada Kongres,
khususnya para anggota yang duduk di Komisi Hubungan
Internasional, baik yang di Senat maupun di House of
Representatives. Minimal yang mereka bisa lakukan
adalah memberikan tekanan kepada pemerintah untuk
meninjau kebijakan itu. 

Di sini leverage (kekuatan) Indonesia cukup tinggi.
Dalam usaha AS memerangi terorisme, yang diakui oleh
Presiden Bush bersifat panjang, posisi Indonesia jelas
sangat strategis. AS tentu saja berkepentingan untuk
terus mendapatkan dukungan dan kerja sama, dalam
bentuk atau level apa pun, dari Indonesia sebagai
negara yang mayoritas penduduk Islamnya terbesar di
dunia. Presiden Megawati juga bisa menekankan
keberhasilan yang sudah banyak dicapai dalam
investigasi pengeboman Bali yang menunjukkan bahwa
Indonesia sekarang serius memerangi terrorisme. 

Selan itu, Presiden Megawati dapat mengingatkan
kembali bahwa, dengan segala risiko politik, ia datang
mememui Bush di Washington kira-kira hanya sepuluh
hari setelah peristiwa 11 September. Betul memang,
pada saat itu Presiden Megawati tidak secara terbuka
mengumumkan dukungan Indonesia pada usaha Amerika
memerangi teror seperti yang tadinya diharapkan oleh
Gedung Putih. Dan sikap Megawati yang sangat hati-hati
itu juga tidak kena dengan prinsip hitam putih Bush
yang "you are either with us or with the enemy,"
(apakah anda bersama kami atau bersama musuh). 

Dukungan Indonesia 

Tetapi tindakan Megawati untuk menemui Bush hanya
sepuluh hari setelah peristiwa 11 September sebetulnya
secara implisit menunjukkan dukungan Indonesia.
Keberanian untuk datang itu juga seharusnya merupakan
kredit tersendri di mata AS. Mungkin masalahnya
terletak pada kegagalan kita menjelaskan bahwa hal itu
merupakan yang maksimal yang bisa dilakukan oleh
Presiden Megawati mengingat limitasi politik yang
dimilikinya. 

Indonesia juga dapat mengingatkan bahwa kebijakan
registrasi khusus itu justru akan makin membakar
sentimen anti-Amerika sehingga usaha keras pemerintah
Amerika selama ini untuk memperbaiki citranya sia-sia.
Tidak dapat dibayangkan kalau nantinya perang melawan
Irak benar-benar terjadi. Tentu pihak AS sudah bisa
melihat sendiri bahwa sekarang saja sentimen
anti-Amerika sudah banyak terdengar sebagai reaksi
atas rencana perang itu. Yang jelas nantinya akan
susah bagi pemerintah atau kelompok moderat untuk
membendung meluasnya gelombang anti-Amerika. Akhirnya
kelompok radikal lagi-lagi akan merebut lapangan
politik dan kelompok moderat menjadi teralienasi. 

Dan kalau medium politik sudah betul-betul dikuasai
kelompok radikal, maka proses demokratisasi Indonesia,
yang sudah cukup kompleks dan tidak menentu, akan
menderita set back berikutnya. Presiden Megawati juga
dapat menekankan kepada Bush bahwa meluasnya sentimen
anti-Amerika bukan hanya akan memperlemah kapasitas
pemerintah tapi juga dapat diapakai sebagai alat untuk
menekan pemerintah. 

Kehilangan Teman 

Yang tidak kalah penting, mungkin saja nantinya AS
juga terpaksa kehilangan orang-orang yang selama ini
mereka anggap sebagai teman strategis, terutama
kalangan moderat. Bahkan, Hashim Muzadi dan Syafei
Ma'arif, dua tokoh Islam utama yang selama ini oleh AS
dianggap penting karena memiliki sikap toleran, plural
dan moderat, sudah mulai menjauhi AS dengan
membatalkan rencana kunjungan mereka ke Washington
awal Febuari ini. Secara terang-terangan alasan yang
disebutkan adalah bukan hanya rencana serangan ke Irak
tapi juga kebijakan registrasi khusus itu. 

Tanpa mengecilkan implikasi peristiwa 11 September
yang menimbulkan kebutuhan untuk memperkuat homeland
security (keamanan dalam negeri), pihak Amerika
sendiri harus memperhitungkan apakah nantinya
kebijakan registrasi khusus itu justru akan
menimbulkan kebencian baru terhadap mereka.
Orang-orang yang selama ini tidak pernah terpikir
untuk ikut Al-Qaeda, namun karena merasa telah
disakiti, sekarang akan terdorong untuk ikut, hanya
karena ingin balas dendam. Mereka yang masih
anak-anak, karena tidak terima melihat ayah atau
pamannya diperlakukan semena-mena, akan tumbuh menjadi
karakter yang membenci AS. Akhirnya inisiatif yang
dilakukan dalam kerangka war on terror, justru
melahirkan generasi teroris baru. 

Namun yang menyakitkan bagi kita semua orang
Indonesia, dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar
registrasi khusus itu, seakan menjadi penegasan bahwa
negara kita disamakan dengan negara-negara lain yang
punya persoalan serius soal terorisme. Ada yang
bertanya apakah itu dipicu oleh pengeboman di Bali?
Namun bukankah dunia luar, termasuk AS, mengakui bahwa
sudah banyak kemajuan berarti dalam investigasi kasus
Bali? Sulit dipercaya memang karena selama ini kita
dibangga-banggakan sebagai negara yang penduduknya
toleran dan moderat. 

Kita harus mengakui, kita tidak lagi menikmati citra
sebagai negara yang masyarakatnya toleran dan moderat.
Berbagai macam kejadian kekerasan, seperti tragedi Mei
1998, konflik Ambon dan Poso, tragedi malam Natal dan
pengeboman mesjid Istiqlal, telah menghancurkan itu
semua. Semua peristiwa itu terjadi jauh sebelum
pengeboman Bali karena hampir semua kasus sebelum Bali
tidak dapat dituntaskan dan kita sudah terlanjur dicap
tidak mampu memerangi teror. 

Selain itu, ada beberapa kelompok yang menggunakan
agama untuk menjustifikasi berbagai tindak kekerasan.
Tragisnya, pemerintah membiarkan hampir semua tindakan
mereka. Dan kita selalu mendengar penjelasan bahwa
berbagai aksi itu dilakukan oleh orang-orang yang
berjumlah sedikit dan tidak mencerminkan perilaku umum
masyarakat Indonesia. Memang betul mayoritas
masyarakat Indonesia, tetap toleran, moderat dan cinta
damai. Tetapi pemerintah harus menghentikan perilaku
segelintir orang itu. Kalau tidak, siapa lagi yang
akan jadi korban? Orang-orang tidak berdosa yang hanya
ingin mencari hidup layak? 

 

Penulis adalah "Congressional Fellow" yang bekerja di
Komisi Hubungan Internasional Kongres AS.





=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com