[Nusantara] Mengatur Golput?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Feb 11 09:00:51 2003


Mengatur Golput? 
Hendardi 

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu Agustin Teras
Narang - yang juga anggota DPR dari PDI-P- mengusulkan
untuk memberi sanksi hukum atas suatu kegiatan
sistematis, terorganisir, terencana dan meluas, yang
mengajak orang untuk tidak memilih atau selama ini
dikenal sebagai "golongan putih" (golput). 

Usulan untuk memberikan sanksi hukum atas kegiatan
yang mengajak orang menjadi golput perlu mendapat
tanggapan yang serius. Hal itu mengingat usulan itu
dapat membahayakan pelaksanaan penghormatan dan
penegakan hak asasi manusia (HAM), khususnya hak-hak
sipil dan politik, sekaligus pula untuk mencegah DPR
semakin sewenang-wenang. 

Susutnya Kepercayaan 

Dinamika politik yang ditandai dengan gelombang protes
yang besar dan meluas dari berbagai kalangan
masyarakat yang menetang kenaikan bahan bakar minyak
(BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan telepon beberapa
pekan lalu, bisa ditengarai sebagai indikator
melorotnya kepercayaan masyarakat atas pemerintah.
Protes-protes itu bahkan belakangan tiba pada gugatan
legitimasi pemerintah yang menuntut turunnya Megawati
dari jabatan presiden dan Hamzah Haz dari jabatan
wakil presiden. Susutnya kepercayaan sebagian
masyarakat itu tidaklah berarti kedua pejabat
kepresidenan itu tanpa para pendukungnya. 

Berkurangnya kepercayaan sebagian rakyat atas
pemerintah telah berkembang menjadi wacana politik
untuk mengganti Mega-Hamzah Haz di tengah jalan.
Wacana tandingan juga mengembuskan argumen agar
Mega-Hamzah hanya diganti melalui proses pemilihan
umum. Dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum DPP-PDIP,
Megawati juga menyampaikan pidato-pidatonya yang
menantang pimpinan partai-partai lain untuk mau
bertanding dalam pemilu 2004. 

Ketika Megawati merayakan ulang tahun ke-56, massa
pendukungnya mulai keluar untuk menandingi demo-demo
yang memprotes kenaikan harga maupun mengkritik
Presiden. Massa pendukungnya yang terdiri atas
berbagai satuan tugas itu juga agak memulihkan
kepercayaan Megawati untuk menantang para
pengkritiknya. Amien Rais pun menyambut tantangan itu.


Di samping wacana di atas, wacana lain yaitu
menyangkut golput juga dimunculkan. Persoalan golput
telah mengisi berbagai perbincangan politik sebagai
ekspresi kekecewaan mereka atas perilaku partai-partai
dan para pemimpinnya. Mereka dikritik cuma berebut
kursi kekuasaan dan korupsi, atau yang dikenal sebagai
"politik uang" (money politics). 

Boikot atau golput atas pemilu, mungkin dikhawatirkan
oleh DPR dan elite partai bakal dituding sebagai
kegagalan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan
politik. Sebaliknya, penciutan golput dianggap sebagai
keberhasilan. Sehingga perkiraan bertambahnya golput
harus dicegah. 

Asumsi itu persis seperti yang dilakukan rezim
Soeharto saat berkuasa yang senantiasa sukses
mematikan gerak langkah kaum golput. Pemilu selalu
diikuti oleh massa rakyat di berbagai pelosok negeri
tanpa banyak hambatan. 

Pandangan yang dianut itu berangkat dari asumsi bahwa
pemilu akan gagal jika jumlah golput meningkat
menyusul berkembangnya wacana golput. DPR kemudian
bermaksud mencegah peningkatan jumlah kaum golput
dengan mengusulkan adanya sanksi hukum.
Kegiatan-kegiatan aktivis golput untuk mengajak orang
sepandangan dengan mereka bukan hanya harus dicegah,
tetapi juga harus dihukum. 

Pada masa Soeharto, aktivitas sekelompok orang dalam
menyuarakan golput bukan saja ditangkapi polisi dan
TNI, tetapi juga diadili dan dijatuhi hukuman penjara
bertahun-tahun. Di sini tampak kian ada kesamaan,
apakah Pansus DPR hendak mengulangi perilaku politik
represif rezim Soeharto? 

Mengatur Golput? 

Jika RUU Pemilu yang dibahas Pansus DPR itu mengandung
ketentuan untuk mengatur golput, berarti bukan saja
membatasi pelaksanaan hak politik seseorang, tetapi
juga menindasnya sanksi hukum. Kritik-kritik dan
kampanye kaum golput akan dilindas dengan hukum yang
menindas sebagai buah karya Pansus DPR. 

Gagasan dan upaya mengembalikan hukum represif seperti
era rezim Soeharto semakin menunjukkan sosoknya di
DPR. Mereka jelas-jelas bermaksud hendak mencampuri
pelaksanaan hak politik setiap warga negara. Mereka
ingin mengatur hak setiap orang melalui alatnya, yakni
RUU Pemilu. 

Mengatur golput dengan tujuan mencegah meluasnya
jumlah rakyat yang menolak pemilu bukan saja sebagai
bentuk campur tangan, melainkan juga menindas hak
politik setiap orang. Pada intinya, RUU Pemilu hendak
di- akali untuk melarang golput. 

Jika golput adalah hak dan dikatakan boleh-boleh saja,
maka pertanyaan serius yang harus diajukan adalah:
mengapa hak harus diatur (dibatasi)? Apakah golput itu
akan mengarah pada perbuatan kriminal, sehingga perlu
diatur-atur? Mengapa pula Pansus DPR demikian takutnya
terhadap golput? 

Sebagai hak setiap warga negara, kegiatan golput wajib
dijamin untuk dihormati dan dilindungi, sehingga tak
ada alasan untuk menghalangi ruang gerak golput,
apalagi menindasnya dengan hukum yang menindas.
Persoalannya, apa perlunya Pansus DPR ikut campur
membatasi ruang gerak setiap orang untuk golput yang
jelas-jelas merupakan hak warganegara? Di mana
keperluannya sehingga orang yang tak ikut pemilu
diatur? 

UU Pemilu seharusnya bertujuan mencegah dan melarang
setiap bentuk tindakan curang, baik yang dilakukan
partai-partai maupun oknum-oknumnya. Misalnya,
pelarangan terhadap suatu partai atau oknumnya
memanipulasi jabatannya sebagai pejabat untuk
memenangkan partainya, menerima "uang komisi" untuk
partainya, "politik uang", menyuap calon pemilih,
mencuri kotak suara atau menggandakan surat suara,
atau juga memalsukan hasil-hasil penghitungan suara. 

Karena semua yang dilarang itu adalah perbuatan
kriminal. Setiap perbuatan itu harus dihukum. Polisi
atau jaksa harus turun tangan memproses para tersangka
kriminal secara hukum. Mereka yang korup dan melakukan
serta menerima suap mesti diajukan ke pengadilan.
Semestinya pembahasan RUU Pemilu diarahkan seketat
mungkin untuk menghasilkan pemilu yang jujur, adil dan
bersih tanpa dikacau- kan oleh "politik uang". Mereka
harus mengambil pelajaran dari kesalahan pemilu 1999,
sehingga kejorokan yang sama tak berulang pada 2004. 

Begitu juga, jika disebut-sebut untuk kepentingan
bangsa, seharusnya penyusunan UU Pemilu bukan hasil
dari segelintir orang di Pansus RUU Pemilu. Apa mereka
mengenal aspirasi dari rakyat tanpa bertanya kepada
rakyat tentang apa yang mereka kehendaki? Apakah
mekanisme pelibatan partisipasi rakyat dalam
penyusunan UU telah memadai ataukah hanya seolah-olah,
seperti yang selama ini dilakukan? 

Para anggota Pansus RUU Pemilu seharusnya turun ke
masyarakat dan menanyakan sebaiknya bagaimana pemilu
bisa dilaksanakan dengan jujur, adil dan bersih dari
"politik uang". Juga, perbaikan sistem politik macam
apa yang dikehendaki rakyat. Pemilu yang bagaimana
yang benar-benar bisa menjamin bahwa wakil rakyat yang
dipilih sungguh-sungguh membela kepentingan mereka,
bukan sebaliknya membohongi mereka setelah kursi
diperoleh. 

Pansus DPR sama sekali tak ada urusan logisnya
mengatur-ngatur golput, karena mereka bukan mau ikut
pemilu. Menyibukkan diri untuk mengatur (membatasi
hak) orang yang tidak mau ikut pemilu, hanyalah
pembelokan masalah dari ketidakmauan dan
ketidakmampuan mereka menjamin RUU Pemilu dan pemilu
yang jujur, adil dan mau "dibeli" rakyat yang hari ke
hari semakin susut kepercayannya terhadap
penyelenggara negara. 

Penulis adalah Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia Indonesia (PBHI).





=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com