[Nusantara] Menggagas Islam Pribumi

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Feb 13 04:00:26 2003


Menggagas Islam Pribumi 
Khamami Zada, Koordinator Program Kajian dan
Penelitian Lakpesdam NU 
KEBERAGAMAAN masyarakat di Indonesia sudah mengalami
pergeseran yang cukup tajam setelah disibukkan dengan
fenomena radikalisme beberapa tahun terakhir ini.
Keaslian bangsa yang ramah, toleran, dan damai seakan
sirna oleh aksi-aksi kekerasan yang melibatkan
kelompok-kelompok agama dengan ideologi intolerannya.
NU dan Muhammadiyah yang selama ini menjadi warna dari
keberagamaan (Islam) di Tanah Air mulai mendapatkan
pesaing baru dari gerakan otentifikasi dan
universalisme di dalam gerakan baru Islam. 

Kalau dahulu masyarakat muslim berafiliasi secara
kultural dan organisatoris dengan NU dan Muhammadiyah,
sekarang afiliasinya mulai tersebar ke berbagai
organisasi Islam yang lahir belakangan ini. Ironisnya,
gerakan baru Islam ini menampilkan wajah
keberagamaannya yang intoleran dan keras. Gerakan baru
keagamaan tampaknya tidak mengambil ideologi keagamaan
yang toleran dan pluralis untuk memberikan tempat bagi
perbedaan, kemajemukan, dan keanekaragaman budaya.
Bahkan, ada keyakinan kuat mereka untuk menyeragamkan
pandangan keagamaan menjadi satu. Karena itu, yang
selalu mereka usung adalah proyek otentifikasi Islam
atau pemurnian Islam untuk menciptakan sistem sosial
yang sama, seperti yang pernah terjadi di dalam
sejarah Islam klasik. 

Negara Islam dan pemberlakuan syariat Islam secara
total selalu menjadi cita-cita luhur mereka dalam
menggerakkan jaringan di seluruh belahan dunia.
Otentifikasi Islam Dalam konteks inilah, proyek
otentifikasi Islam yang diusung oleh gerakan baru
Islam mengandaikan pandangan dunia (world view) yang
kukuh, ''Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang
baku, tak berubah, dan kekal.'' Karena itu, seluruh
bangunan tekstualnya mesti merujuk pada sendi-sendi
dasar yang termaktub dalam teks Kitab Suci dan apa
yang pernah diajarkan Nabi saw di Mekah dan Madinah
sebagai basis geografis lahirnya Islam. Hal ini
didasarkan pada realitas Islam sebagai agama yang
lahir di masa Rasulullah tanpa mengalami proses
historisasi ajaran. Islam dipandang sebagai ajaran
agama yang selesai di masa itu dan tidak boleh
mengalami modifikasi, kontekstualisasi, ataupun
perubahan. 

Di sinilah otentifikasi Islam menjadi trademark ajaran
yang paling benar dan dapat diaplikasikan di seluruh
belahan dunia. Sehingga, di luar geografis itu mesti
meniru model yang sudah terjadi di masa Rasulullah.
Pada gilirannya, Islam yang di sana dipandang sebagai
Islam otentik, sedangkan Islam di wilayah lainnya
bukan Islam yang otentik, 'Islam periferal', yang jauh
dari karakter aslinya. Itu sebabnya, sikap
keberagamaan (Islam) di wilayah Nusantara yang telah
mengalami proses akomodasi kultural dianggap bukan
Islam otentik karena sudah berubah dari ajaran
aslinya. 

Pada gilirannya, ini membawa perubahan pola pikir
keberagamaan dari Islam lokal menjadi universalitas
Islam dalam praktik ajarannya. Akibatnya, tuduhan
sinkretisme dan bidah telah merusak warna keaslian
bangsa toleran yang sudah diwariskan nenek moyang
sebagai identitas kultural. Islam di wilayah Nusantara
sudah tidak lagi menampakkan wajah toleran dan
damainya, karena sudah dipenuhi dengan gerakan
pemurnian (otentifikasi) yang tidak mengakui
multiinterpretasi Islam sebagai agama yang mengalami
proses historisasi. Pada ujung-ujungnya yang terjadi
justru radikalisme agama atau bahkan aksi terorisme.
Wajah Islam seperti inikah yang akan tetap kita
pertahankan sekarang ini? 

Tentu saja tidak! Karena Islam mesti menjadi ajaran
yang menumbuhkan pesan-pesan damai dalam kehidupan
sosial. Islam pribumi Di sinilah, gagasan 'Pribumisasi
Islam' yang pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid patut
kita lanjutkan kembali untuk menjawab problem
radikalisme Islam. Dalam 'Pribumisasi Islam' tergambar
bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal
dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang
berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian
Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan
masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi
atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur
Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita
sendiri? 

Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan
timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya
setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak
hilang. Inti 'Pribumisasi Islam' adalah kebutuhan
bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan
budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak
terhindarkan (Abdurrahman Wahid, 2001). Pada konteks
selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan
(Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam
wujud 'Islam Pribumi' sebagai jawaban dari 'Islam
Otentik' atau 'Islam Murni' yang ingin melakukan
proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di
seluruh penjuru dunia. 'Islam Pribumi' justru memberi
keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan
beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. 

Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi
anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang
murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama
mengalami historisitas yang terus berlanjut. 'Islam
Pribumi' sebagai jawaban dari Islam otentik
mengandaikan tiga hal. 

Pertama, 'Islam Pribumi' memiliki sifat kontekstual,
yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait
dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan
perbedaan wilayah menjadi kunci untuk
menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam
akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons
perubahan zaman. 

Kedua, 'Islam Pribumi' bersifat progresif, yakni
kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap
penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam),
tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons
kreatif secara intens. 

Ketiga, 'Islam Pribumi' memiliki karakter membebaskan.
Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat
menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal
tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan
demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi
realitas sosial masyarakat yang selalu berubah. Dalam
konteks inilah, 'Islam Pribumi' ingin membebaskan
puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian
Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa
menghilangkan identitas normatif Islam. 

Karena itulah, 'Islam Pribumi' lebih berideologi
kultural yang tersebar (spread cultural ideology),
yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang
ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui
ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat
tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur
lokal masyarakat setempat. 

Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik
radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan
ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi
terciptanya perdamaian.*** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com