[Nusantara] Pers Barometer Peradaban Bangsa

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Feb 13 04:00:29 2003


Pers Barometer Peradaban Bangsa 

KEBEBASAN pers (press freedom) dan pers yang bebas
(free press) dua ungkapan yang mengandung makna yang
sama, tetapi dengan konotasi yang sangat berbeda.
Kebebasan pers lebih mengacu kepada suatu suasana di
mana tatanan, ruang gerak, moralitas dan perangkat
hukum bagi masyarakat sudah sangat mapan. Karakter
dari pers dari kalangan ini adalah bebas tetapi sopan.


Sedang pers yang bebas lebih mengacu kepada suatu
suasana di mana empat tatanan yang disebutkan tadi,
masih sangat rapuh, untuk tidak dikatakan masih
semrawutan. Kesamaan makna dengan konotasi yang
berbeda ini bisa saja bukan merupakan persoalan serius
bagi pers di negara-negara maju. 

Pola kerja dan ruang gerak pers di negara berkembang
umumnya belum ditopang oleh keempat perangkat yang
disebutkan tadi. Tak perlu heran bila kebebasan pers
cenderung kurang mengindahkan norma-norma tak tertulis
seperti moralitas dan tatanan lain yang kita sebut
saja sebagai etika. Ini memang memunculkan apa yang
disebut sebagai grey area (kawasan abu-abu) yang
senantiasa menjadi ajang perdebatan. 

Itulah yang terjadi di Indonesia dalam beberapa pekan
terakhir. Diawali dengan kecaman Presiden Megawati
Soekarnoputri dalam pidatonya di hadapan warga PDIP di
kediamannya beberapa pekan lalu, debat publik pun
berlanjut ketika pers Indonesia merayakan Hari Pers
Nasional hari ini (Sabtu, 8/2) di Bali. Kepala Negara
menilai pers Indonesia tidak seimbang dalam
memberitakan persoalan. Pers Indonesia sangat ruwet. 

Bagi masyarakat pers, penilaian semacam ini merupakan
suatu peluang untuk mengoreksi diri. Kepala Negara
mungkin bisa benar mungkin juga tidak. Dikatakan bisa
benar karena Kepala Negara berpikir pemberitaan pers
lebih mengarah kepada sesuatu yang melekat kepada
pribadinya sebagai seorang perempuan. Misalnya
Presiden Megawati digambarkan lewat karikatur yang
sarkartis. 
Pernyataannya yang dilontarkan dengan nada marah
merupakan isyarat bahwa Kepala Negara tak menerima
kecaman pers yang dipresentasikan dalam format
pemberitaan yang terlalu mengarah kepada pribadi.
Ungkapan Bahasa Latin mungkin bisa mewakili apa yang
mau dikatakan Kepala Negara, yakni ad hominem.
Terjemahan bebasnya adalah jangan menyerang sesuatu
dengan menyengsarakan seseorang. 

Kepala Negara bisa saja keliru atau kurang pas ketika
menempatkan persoalan pers sebagai sesuatu yang
terlepas dari seluruh perjalanan peradaban dari sebuah
negara dalam mana Megawati Soekarnoputri adalah
presidennya. 
Inilah biang dari semua persoalan kita di Indonesia.
Sejauh ini, kita kurang menempatkan persoalan secara
proporsional. Kita cenderung melihat persoalan secara
sepenggal-sepenggal. 

Artinya, kita mengambil sebuah penggal dari sebuah
persoalan besar untuk kemudiaan dikonfrontasikan
dengan kepentingan pribadi kita. Apabila penggalan
yang diambil cocok dengan kemauan kita, kita diam.
Tetapi bila yang terjadi adalah sebaliknya, kita
marah-marah. 

Gejala semacam ini memang berakar kepada sesuatu yang
bersifat perilaku, yakni mencocok-cocokkan sesuatu
yang pada dasarnya mungkin kurang cocok. Dalam
ungkapan Bahasa Jawa, apa yang ingin dikatakan itu,
mungkin lebih pas, yakni uthak, athik, gathuk. Kepala
Negara ber-uthak, athik, gathuk dalam membaca surat
kabar/majalah, memirsa televisi dan mendengar radio.
Tak perlu heran, bila Kepala Negara jengkel. 

Kepala Negara juga serta-merta tidak boleh disalahkan
karena pers juga bisa saja berperilaku uthak, athik,
gathuk. Artinya, presentasi berita atau program di
media masing-masing berpijak kepada pendekatan uthak,
athik, gathuk. Editing, dan cutting merupakan suatu
praktik uthak, athik, gathuk dalam organisasi media
massa agar bahan mentah berita bisa cocok dengan
persyaratan teknis dan misi masing-masing media. 

Contoh: sebuah televisi AS mengambil footage stock
yang menggambarkan sekelompok orang dengan wajah Arab
bertepuk tangan untuk mengabarkan kepada dunia bahwa
serangan teroris di AS 9 September 2001 disambut
meriah di Timur Tengah. Padahal footage itu adalah
sesuatu yang lain sama sekali. 

Apa yang ingin dikatakan dari uraian ini adalah pers
merupakan salah satu barometer peradaban bangsa. Kita
masih dalam proses tertatih-tatih menuju demokrasi
yang dicerminkan dalam kebebasan pers yang matang. 
Oleh karena itu, pihak yang harus memelopori
akselerasi demokrasi adalah pemerintah, DPR, dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dalam
memantapkan tatanan, moralitas, hukum dan etika pers
di Tanah Air. 

Dirgahayu pers Indonesia, semoga lebih matang dan
sopan. *** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com