[Nusantara] Mereduksi Alquran, Boleh atau Tidak?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Feb 13 04:00:31 2003


Mereduksi Alquran, Boleh atau Tidak? 
Oleh: Rozihan 

MEMBACA tulisan Ibnu Djarir di Suara Merdeka, beberapa
waktu lalu, yang berjudul "Mereduksi Ayat-ayat
Alquran", saya jadi bertanya, "Ayat Alquran atau
pemahaman terhadap ayat Alquran?" Jika pilihan kedua
yang dimaksudkan, mereduksi pemahaman, maka dengan
metode dan pendekatan yang bervariasi dianggap sah
untuk dilakukan, bahkan untuk melakukan perombakan
(dekonstruksi) pemahaman juga tidak dilarang. Sebab,
pemahaman dan pemikiran bukanlah produk sakral yang
harus dipertahankan seolah-olah menjadi tuhan kita. 

Karena itu, pemikiran Ulil Abshor Abdalla harus
dipandang sebagai fenomena rekonstruksi pemikiran
keagamaan, sebagaimana pesan Ali Syari'ati bahwa agama
akan berkembang kalau terpelihara aktualitasnya.
Pemikiran Ulil Abshor yang diturunkan di Kompas sempat
membuat kontroversi di kalangan ulama dengan keputusan
emosionalnya menghukum halal darahnya atau boleh
dibunuh. Padahal, pemikiran Ulil Abshor tentang
qishas, jilbab, dan sebagainya merupakan kerangka
metodologi dalam "membaca ulang" Islam agar mampu
menjawab tantangan zaman (salihli kulli zaman wal
makan). 

Pembacaan Alquran Nashr Hamid Abu Zayd dalam Dirosat
fi Ta'wil Al Qur'an membedakan antara agama (religion)
dan pemikiran keagamaan (religious thought). Agama
adalah kumpulan teks Ilahi yang mengejawantahkan dalam
sejarah, sedangkan pemikiran keagamaan adalah
interpretasi manusia terhadap teks-teks tersebut.
Sebagai interpretasi manusia, pemikiran keagamaan (al
fikr ad danni) bisa benar, bisa juga salah. Karena
itu, kritik terhadap pemikiran keagamaan bukan berarti
kritik terhadap agama. 

Abu Zayd juga membedakan antara agama yang
dimanupulasi untuk kepentingan ideologi tertentu dan
mitologi. Karena itu, pemahaman ilmiah tentang agama
bukan sebuah larangan yang memisahkan antara agama
dari kehidupan manusia dan masyarakat. Rekonstruksi
pemikiran Islam yang ditawarkan Abu Zayd dalam
Mafhumun Nass rupanya telah dilansir oleh Ulil Abshor
Abdalla dalam menyegarkan kembali pemahaman Islam yang
secara substansial merupakan pembaruan pemikiran
Islam. Abu Zayd membedakan antara nash (teks) dan
mushaf (buku). 

Yang pertama (teks) lebih menunjuk kepada makna
(dalalah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan, dan
interpretasi. Yang kedua (mushaf) lebih menunjuk pada
benda, baik estetik maupun mistik. Proyek intelektual
yang paling esensial adalah mempertanyakan kembali
"pengertian teks". Jangan sampai terjadi dikotomi
antara nash dan realitas sosial, seolah-olah ada
tembok pemisah antara nash yang sakral di satu sisi
dan manusia sebagai objek di sisi lain. Nash Alquran,
ketika wahyu diturunkan kepada nabi-Nya, memakai
bahasa yang dimengerti umat tempat dia diturunkan.
Adapun Alquran yang kita baca sekarang merupakan nash
atau teks peradaban yang dipengaruhi oleh peradaban
Arab saat itu yang selanjutnya berfungsi sebagai
penuntun menuju peradaban baru (Abu Zayd, Naqd Khitab:
101). 

Untuk menyikapi kemungkinan tersebut, kita harus
menengok khazanah pemikiran Islam klasik dari berbagai
perspektifnya. Khusus yang berkaitan dengan hukum,
agar tidak lepas dari maqasid syariah, perlu dibedakan
antara ibadah mahdhah yang mempunyai relasi vertikal
dengan Allah dan ibadah ghairu mahdhah (muamalat) yang
merupakan relasi horizontal dengan sesama manusia
dengan muatan-muatan kondisional yang tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Metode dan Pendekatan
Urgensi metode dan pendekatan dalam mengkaji sebuah
permasalahan akan sangat menentukan. Sebab, setiap
produk pemikiran tidak dapat lepas dari kedua unsur
tersebut. 

Ulil Abshor Abdalla tidak jauh berbeda dari Said Aqil
Siradj dan Muhammadiyah. Aqil Siradj, salah seorang
Syuriah PBNU, pada tahun 1995 melancarkan kritik
terhadap warisan doktrital Aswaja di lingkungan NU.
Ternyata Aqil telah memperkenalkan pemikiran Abed Al
Jabiri, seorang pemikir intelektual dari Maroko.
Uniknya, sebagian argumen Al Jabiri tentang tradisi
berpikir Bayani, Burhani, dan Irfani telah
dipergunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan
Pengembangan Pemikiran Islam sebagai manhaj atau
metode dengan pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis (Post Tradisionalisme: X-XV). 

Dengan ketiga metode dan pendekatan tersebut, tidak
tertutup kemungkinan setiap produk hukum bisa jadi
berbeda pada setiap kurun waktu. Pembacaan ulang
terhadap produk pemikiran akan menghasilkan pemahaman
dan kesan yang mendalam tentang akurasi
istilah-istilah yang digunakan oleh Al Kitab bila
ditinjau dari segi ilmiah baik masa lalu, kini, maupun
masa yang akan datang. Sebab, isi Al Kitab secara
garis besar dibedakan menjadi dua, yakni ayat-ayat
kenabian (nubuwwah) dan ayat-ayat kerasulan (risalah)
yang keduanya sama-sama cocok untuk setiap waktu dan
tempat (Madzhab Jogja: 127). Ada dua sifat pokok dalam
Al Kitab yang mutlak dimengerti untuk menemukan
keistimewaan ajaran Islam, yakni hanifiyah dan
istiqomah. Sifat hanifiyah yang berarti tidak lurus
atau deviasi merupakan dialektika yang sangat penting,
karena ia dapat menunjukkan bahwa hukum Islam bisa
disesuaikan dengan segala zaman dan tempat. 

Dengan sifat hanifiyah pada Al Kitab, Muhammad Syahrur
telah menawarkan teori batas (Nazariyatul Hudud),
yaitu batas atas dan batas bawah bagi seluruh
perbuatan manusia. Teori batas yang ditawarkan Syahrur
seperti diulas oleh Amin Abdullah dalam Madzhab Jogja
(halaman 136-138), ayat-ayat hukum mempunyai enam
bentuk dalam teori batas. Pertama, batas bawah; kedua,
batas atas; ketiga, batas bawah sekaligus batas atas;
keempat, garis lurus; kelima, batas atas dan bawah
tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh;
keenam, hukum yang mempunyai batas bawah dan atas,
batas atas yang bernilai positif tidak boleh
dilampaui, batas bawah yang bernilai negatif tidak
boleh dilampaui juga. 

Analisis Ibnu Djarir dan Ulil 

Memperhatikan beberapa metode dan pendekatan yang
ditawarkan oleh Abed Al Jabiri serta teori batas yang
ditawarkan oleh Muhammad Syahrur, pemahaman terhadap
Islam sebagai agama yang hanifiyah dapat dibuat
klasifikasi. Klasifikasi pertama terdiri atas ibadah
mahdhah (khusus) seperti shalat, puasa, haji -tidak
ada otoritas akal di dalamnya, sekalipun dalam realita
empirik terjadi perbedaan pelaksanaan. Sementara
persoalan muamalah yang sangat luas jangkauannya,
otoritas akal memperoleh tempat yang signifikan. 

Klasifikasi kedua dengan mempergunakan metode dan
pendekatan. Metode Bayani yang merupakan justifikasi
teks-teks agama berhadapan dengan Metode Burhani,
yakni logika empirik yang berlaku secara instrumental.
Metode Irfani atau intuitif adalah metode yang
melintas batas baik budaya, ras, maupun agama. Pada
setiap kasus yang berangkat dengan metode dan
pendekatan yang berbeda, produknya dapat dipastikan
berbeda pula. Klasifikasi ketiga istimbath hukum
dengan teori batas (nazariyatul hudud), ushul fiqh
rasional Al Muwafaqat karya As Syathibi, dan Qowaidul
Ahkam karya Izzuddin Abdus Salam. 

Kasus jilbab, hukum pencurian, dan qishas dalam
pemikiran Ulil dan Ibnu Djarir bisa jadi
berseberangan, karena metode dan pendekatan keduanya
berbeda. Jilbab atau kerudung atau cadar secara
antropologis berasal dari menstrual taboo artinya
pakaian wanita menstruasi yang telah dikenal dalam
Taurat dan Injil. Kerudung dan semacamnya semula
dimaksud sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi
keluarga raja dan bangsawan ketika menstruasi yang
merupakan pakaian khusus untuk menutupi anggota badan
yang sensitif yang kemudian diikuti perempuan
nonbangsawan (Paramadina Vol 1 No 1, halaman 123-125).


Jika diruntut dengan teks hadis, ternyata hadis
tentang jilbab mempunyai ahad, karena jaringan
penuturan terputus-putus (mursal) dan masih menjadi
kontroversi di kalangan ulama ushul, sehingga Muhammad
Syahrur dalam bukunya Al Kitab wal Qur'an menyatakan
jilbab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan
urusan halal dan haram. Fenomena jilbab sekarang lebih
merupakan tren ketimbang pakaian yang membentuk
perilaku muslimah yang memelihara diri (muttaqin). 

Hukum pencurian dan qishas, jika mengikuti Ibnu
Djarir, keduanya merupakan hukum yang efektif. Namun
jika menggunakan teori batas (nazariyatul hudud) yang
dilansir oleh Ulil, akan sangat berbeda. Dalam teori
batas, ketentuan hukum pencurian dan pembunuhan hanya
memiliki batas atas (al gadd al a'laa), yaitu hukum
yang paling berat, sehingga tidak memberikan hukum
yang lebih berat dari yang ditentukan, tetapi bisa
memberikan hukuman yang rendah, sehingga realitas
objektif masyarakat perlu menjadi pertimbangan. 

Simpulan Metodologis 

Tantangan yang dihadapi studi Islam dewasa ini adalah
antagonisme yang berujung antara dua kutub besar
pemikiran Islam, yaitu tradisionalisme sebagai gerakan
masif yang kembali ke romantisme masa lalu (turats)
dengan Metode Bayani (teks) dan modernisme kepada
proyek-proyek rasional ambisius yang bersemangat
pencarian ilmiah-empirik dengan Metode Burhani.
Akhirnya, kita perlu membangun proses dialektis antara
kedua metode di atas; tradisional yang diwakili Ibnu
Djarir dan modernis oleh Ulil Abshor Abdalla. Sungguh
sangat menggigit upaya tafsir alternatif yang
ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan jalur lingkar
hermeneutik antara paradigma epistemologi bayani,
burhai, dan irfani. (18c) 

 

-Rozihan, dosen Fakultas Agama Islam Unissula Semarang



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com