[Nusantara] Pers Dan Kritik Presiden

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Feb 13 04:01:01 2003


Pers Dan Kritik Presiden
Oleh Edy Purwo Saputro 
Menyambut HPN 2003 
Akhir-akhir ini sejumlah media melaporkan bahwa
Presiden Megawati Soekarnoputri telah menuding pers
tak lagi bersahabat dengan pemerintahannya, terutama
setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan
harga BBM (bahan bakar minyak), TDL (tarif dasar
listrik) dan telepon, awal tahun baru lalu. Terakhir,
kritik Presiden Megawati terhadap pers dilontarkan
dalam pertemuannya dengan Ketua Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) Achmad Tirto Sudiro dan Wakil Ketua DPA
Agus Sudono di Istana Negara Jakarta, Jumat (31/1)
lalu. Menurut penilaian Megawati, kadang-kadang pers
mengutip pernyataan pemerintah atau Presiden secara
tidak pas. Sebelumnya, Presiden juga pernah menuduh
pers telah kebablasan dalam memberitakan kasus TKI.
Mengapa demikian? 

Peran pers dalam pembangunan bangsa memang diakui.
Bahkan, ada yang menegaskan bahwa keberadaan pers
menjadi suatu pilar dalam demokratisasi. Meski
demikian, ada juga yang menyatakan bahwa eksistensi
dunia pers cenderung kebablasan sehingga lupa jati
dirinya (baca: egoisme pers). Lalu bagaimana
sebenarnya yang terjadi? Apakah era reformasi ini juga
memberikan kesempatan kepada pers untuk menegakkan
ego-nya sendiri? Tentu tak mudah menjawab pertanyaan
ini, sebab ada keterkaitan yang sangat kompleks dan
tidak bisa hanya dikaji kasus per kasus saja. 

Meskipun demikian, publik mengakui bahwa di era
reformasi yang katanya memberikan kebebasan penuh
kepada pers untuk berekspresi, ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan yang terjadi. Bahkan eksistensi pers
kini justru merasa terancam karena adanya tudingan
bahwa pers telah memutarbalikan fakta secara
berlebihan dengan tak lagi mengindahkan etika
profesionalismenya. 

Yang justru lebih runyam bahwa pers saat ini justru
dianggap telah memperkeruh jalannya pemerintahan
sehingga pers layak untuk dijadikan tertuduh dan
kemudian wajar jika menjadi kambing hitam atas
kegagalan pemerintahan sekarang. Terkait hal ini,
Presiden Megawati pernah menyatakan bahwa pemberitaan
pers tentang kasus TKI (Tenaga Kerja Indonesia) telah
menjadikan corong ketidakbenaran atas fakta riil yang
terjadi. Bahkan, secara eksplisit telah menyudutkan
pers terlalu membesar-besarkan pemberitaan tentang
musibah TKI. Kasus ini pun kembali mengemuka ketika
pers juga dituduh telah memberitakan secara berlebihan
atas kasus kenaikan harga BBM, TDL dan telepon. (Lihat
tabel). 

Yang justru menjadikan permasalahan bahwa seharusnya
pemerintah lebih berintrospeksi atas pemberitaan
tersebut dan bukannya justru mencari pembenaran secara
sepihak dengan cara menyalahkan pers. Bagaimana pun
apa yang disampaikan pers atas pemberitaan mengenai
kasus TKI dan BB, TDL sudah barang tentu telah
diusahakan sesuai porsi tuntutan profesionalisme
berdasarkan aspek kaidah jurnalistik, dengan
menyampaikan kebenaran fakta. Kendati disadari, masih
dijumlah sejumlah pemberitaan pers yang terjebak pada
tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan-kepentingan
sepihak. 

Sayangnya, ketika pers berusaha menjalankan
peran-fungsinya ini ternyata pemerintah justru merasa
kebakaran jenggot. Artinya, tidak ada upaya korektif
terhadap sisi kegagalan yang terjadi (jika memang mau
mengakui). Fakta ini tentu sangat ironis sebab
eksistensi pers di era reformasi ternyata semakin
mandul dan dikebiri oleh kepentingan stabilitas sosial
politik yang sifatnya cenderung semu. Jika
kenyataannya demikian, lalu bagaimana ke depannya?
Bagaimana 

eksistensi nilai peran pers dalam menyuarakan
kebenaran (baca: bukan pembenaran sepihak)? 

 

Aktualisasi

Pers adalah "mata pena", yang terkadang tumpul dan
juga terkadang tajam. Tumpul dan tajamnya pers sangat
tergantung pada bagaimana insan-insan pers mampu
merefleksikan sebuah tuntutan dan juga komitmen. Dua
hal inilah yang kemudian menentukan proses investigasi
atas suatu pemberitaan. Meski demikian, tuntutan dan
juga komitmen itu tak bisa terlepas dari koridor
independensi dan juga etika pers. 

Oleh karena itu, seiring laju booming pers, baik media
cetak ataupun audio visual, maka tidak ada salahnya
apabila komunitas pers juga dituntut semakin proaktif
dalam menyikapi tantangan ke depan. Hal ini memang
tidak mudah, sebab bagaimana pun ada proses egoisme
yang muncul di internal tubuh pers itu sendiri dan
egoisme ini bisa menjadi ancaman serius jika tak bisa
di-manage secara optimal (baca: egoisme yang mengarah
pada pembenaran sepihak). 

Selain kritikan dan ancaman sosial akibat menjamurnya
media pers berbau porno, faktor lain yang juga menjadi
ancaman serius bagi perkembangan pers ke depan terkait
dengan sisi egoisme jurnalistik. Padahal, publik
mengakui bahwa eksistensi pers adalah berlaku jujur
dan tidak memihak siapa pun serta bersikap adil dalam
menyampaikan pemberitaan yang mengarah pada suatu
kasus. 

Sayangnya lagi, meski individual pers telah memahami
dan juga mengakui komitmen ini, toh dalam prakteknya,
tidak jarang (meski kita tidak bisa untuk menyangkal
mengatakannya sering), egoisme jurnalistik juga
muncul. Konsekuensi dari munculnya egoisme jurnalistik
ini akhirnya justru akan merugikan media pers tersebut
(terutama jika dikaitkan dengan salah satu pihak yang
merasa dirugikan atas isi dari nilai pemberitaan yang
disampaikan). 

Dua contoh ironis di atas pada dasarnya menunjukan
tentang ancaman independensi pers yang dewasa ini
semakin nyaring disuarakan, tidak saja oleh komunitas
pers, tetapi juga oleh publik (tentunya bukan tipe
publik yang munafik), serta pemerintah yang dalam hal
ini bertindak sebagai mediator-kontroler. Hal inilah
yang kemudian memicu kontroversi. Paling tidak,
tarik-ulur atas kontroversi ini bisa terlihat dari
temuan dua hal menarik dalam rapat dengar pendapat
antara Komisi I DPR dengan Dewan Pers, Serikat
Perusahaan Suratkabar (SPS), Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
pada tanggal 21 Maret 2002 lalu. 

Kedua hal tersebut terkait dengan pernyataan Presiden
Megawati yang menegaskan bahwa "kebebasan pers
Indonesia telah kebablasan" dan pernyataan anggota DPR
Djoko Susilo bahwa saat ini berkembang konservatisme,
baik di kalangan masyarakat, pemerintah, maupun
parlemen, dalam menyikapi fenomena kebebasan pers. 

Fakta konservatisme itu dimunculkan dengan
disodorkannya Rencana Undang-Undang (RUU) Rahasia
Negara dan RUU lainnya yang bisa menghambat proses
kebebasan pers maupun pendapat-pendapat bahwa
kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini secara tak
langsung bisa memicu kembalinya "belenggu-belenggu"
terhadap kebebasan pers. Dan, jika hal ini terjadi
maka ini menunjukan kemunduran dari kemerdekaan pers.
(Kompas 22 Maret 2002). 

Mengacu realitas tersebut, Andri (2002) menegaskan
bahwa media massa sebagai salah satu pilar negara
mempunyai agenda untuk menciptakan opini publik (yang
tak lain adalah bagian dari proses independensi pers).
Hal ini tentunya sangat terkait erat dengan pertanyaan
mengapa sebuah kasus bisa di-blow up media? Banyak
media berpendapat bahwa pemberitaan kepada khalayak
itu didasari oleh "hak untuk tahu" bagi masyarakat. 

Oleh karena itu, seiring dengan kebebasan pers yang
kini sudah dirasakan media pers, maka kita cuma bisa
berharap agar media dapat berlaku lebih profesional.
Artinya, berbagai pemberitaan tersebut harus
benar-benar dilandasi pada tuntutan dan komitmen bahwa
keberadaan mereka adalah untuk melayani "hak untuk
tahu" masyarakat. 

Ini seharusnya membuat media bebas dari nilai (neutral
value) atau intervensi (meski ada suatu kenyataan
bahwa sistem bebas nilai itu akan selalu bersinggungan
dengan sisi permainan politik, bahkan di negara dan
masyarakat paling demokratis sekalipun). Jadi, inilah
tantangan bagi pers Indonesia! 

Bahwa independensi pers tak seharusnya diartikan
sebagai suatu kebebasan yang mutlak "tanpa sensor" dan
kritik dari publik. Independensi pers yang diartikan
seperti ini pada akhirnya justru akan mematikan
komunitas pers itu sendiri. 

Seiring dengan laju pendewasaan komunitas pers dan
juga pencerdasan kehidupan masyarakat, maka tidak ada
salahnya jika pers perlu melakukan introspeksi.
Bagaimana pun introspeksi sangat perlu, khususnya
dalam menyambut Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh
pada Minggu (9/2) besok untuk lebih memacu kehidupan
dan pendewasaan pers Indonesia. 

Proses introspeksi yang dilakukan oleh pers seharusnya
juga diikuti oleh pihak lain, termasuk juga dalam hal
ini adalah pemerintah. Maksudnya, agar terjalin
semacam kesesuaian dalam memahami eksistensi pers.
Sebab, jika tidak, maka kehidupan pers cenderung akan
selalu disalahkan, menjadi "tertuduh", "provokator"
atau bahkan kambing hitam. *** 

 

(Penulis adalah mantan aktivis pers mahasiswa,
dosen FE UMS Solo) 





=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
YANG BARU : http://nusantara.b3.nu/ situs kliping berita dan posting pilihan demi tegaknya NKRI. Mampirlah !

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Shopping - Send Flowers for Valentine's Day
http://shopping.yahoo.com