[Nusantara] GENESIS

Ki Denggleng Pagelaran fukuoka@indo.net.id
Wed Jan 8 03:36:07 2003


GENESIS 
Ki Denggleng Pagelaran

[In the creation of the heavens and the earth 
and the alternation of the night and the day,
there are surely signs for men of understanding.
Those who remember Allah standing and sitting
and (lying) on their sides, and reflect on the
creation of the heavens and the earth: "Our
Lord, Thou hast not created this in vain! Glory
be to thee! Save us from the chastisement
of Fire."]. 
(QS 3: 190-191)

Kutipan Ayat Quran di atas bukan dimaksudkan untuk 
menggurui atau mengajari, karena memang saya tidak 
punya kompetensi sama sekali, melainkan hanya sebagai 
pedoman dan titik tolak tulisan saya berikut. Kebetulan 
posting NEN MATSU dan OSHOUGATSU, memancing 
berbagai tanggapan. Bahkan beberapa penanggap 
memberikan peringatan simpatik, agar saya tidak juga 
berpikiran kerdil. Mudah-mudahan yang saya lakukan
ini tidak berdasarkan pemikiran kerdil atau kesinisan
belaka. Terimakasih atas peringatannya.

Secara kebetulan pula hari Sabtu saya harus 
menyampaikan kuliah tentang asal-usul tanaman, 
dari mata kuliah Dasar-dasar Agronomi. Dalam rangka 
mempersiapkan diri untuk memberi latar belakang 
(semacam pengantar) agar perkuliahan tidak 'ujug-ujug' 
dimulai dan si penceramah langsung bla-bla-blu-blep, 
saya mencoba mencari-cari bahan yang terkait dengan 
asal-usul tanaman, yaitu sejarah penciptaan (bumi) 
- genesis.

Beruntung sekali bahwa beberapa hari yang lalu seorang 
'netter' aktif bernama Alliq Mc Gellnow memostingkan 3 
messages bersambung dengan judul WAHYU DAN AKAL 
(di FID). Isinya perbantahan antara wakil creationist dan 
wakil evolutionist kelas awam, yang diceritakan berbantahan 
setelah menonton VCD keluaran Harun Yahya. Nah ada 
bahan lumayan, karena isi VCD itu agaknya bertolak 
belakang dengan yang tertera pada buku pegangan 
Pengantar Agronomi yang pada pendahuluan bab asal-
usul tanamannya sudah mengharuskan agar pembacanya 
(termasuk yang sedang menjadi mahasiswa dan dosennya) 
menerima 'kebenaran' teori evolusi, dalam penciptaan 
makhluk hidup, khususnya tanaman. Teori evolusi sebe-
narnya telah sejak lama dipikirkan manusia dalam 
rangka menguak asal-usul. Memang baru sejak publikasi
Darwin (di Inggris) dan Wallace (di Malaysia) teori
ini memperoleh rasionalitasnya.

Kenapa harus menerima teori evolusi itu terlebih dahulu? 
Tak lain dan tak bukan karena dalam membahas asal-usul 
tanaman kita harus menerima pula teori munculnya dunia 
tumbuhan sebagai Kingdom, Plantae. Kingdom plantae 
yang dapat dibedakan dari 4 kingdom lainnya, Monera, 
Fungi, Protista dan Animalia. Kesemua kingdom makhluk 
hidup itu dinyatakan sebagai microcosms, menyangkut 
kehidupan - demikian ditulis oleh Wolf D. Storl (1979) 
dalam permulaan bab Historical Sketch dalam buku 
Culture and Horticulture: A philosophy of Gardening. 

Storl bukanlah horticulturist maupun agriculturist, 
tetapi seorang doktor Antropology yang belajar 
ethnology di Bern University, dan sempat diperingatkan 
oleh advisornya karena sudah belajar doctorate 3 tahun 
masih belum mengerjakan apa-apa tentang riset publiknya 
di bidang antropologi dan etnologi. Dia malah asyik-masyuk 
mengamati dan ikut terjun dalam budaya Bio-dynamic 
yang dikembangkan oleh suatu yayasan rehabilitasi 
orang-orang cacat di Swiss. Akhirnya toh dia justru 
mampu menyelesaikan studi doktornya dengan 
mengungkapkan riset 'in situ' tentang bio-dynamic itu 
sebagai suatu alternative agriculture. Sesuatu yang 
kelihatan sangat jauh dari dunia antropologi dan etnologi, 
tetapi justru sangat erat terkait dengan kehidupan dan 
kebudayaan manusia. Kehidupan yang sangat 
memperhatikan hukum-hukum/fenomena alam dan 
kosmos, menjadikan usaha tani yang selaras dan 
seimbang dengan alam. Pertanian alternatif yang mampu 
menghidupi 100 orang cacat dari hanya 13 hektar 
lahan dan terus berkembang menjadi semakin meningkat 
daya dukung lahannya.

Obyek riset Storl itu dalam pemikiran saya sangat 
selaras dengan kutipan terjemahan 2 ayat Quran 
surat ke-3 di atas. Pasalnya komunitas bio-dynamic 
itu memang sangat erat kaitannya dengan kehidupan 
keagamaan. Nah dalam suasana pertanian religius 
itulah ada faham yang sangat memperhatikan fenomena 
kosmos, benda-benda langit dan peredarannya serta 
pengaruhnya terhadap kehidupan 'tanaman' di muka 
bumi. Bahwa Tuhan menurunkan air dari langit (hujan) 
dan kemudian dengan air itu menghidupkan bumi 
dengan tumbuh-tumbuhan. Tentunya harus pula 
dipahami apa air itu? Dari mana munculnya air itu? 
Kapan tercipta dan mengapa dengan air, 'bumi' dapat 
dihidupkan (lihat QS 2: 164 & 266). Maksud saya 
adalah mempertanyakan apakah dalam menerima 
sesuatu ketentuan (baik itu dari kitab suci maupun 
sabda Nabi atau hasil ijtihad orang-orang alim) tidak 
perlu berfikir lagi? Sedang dalam kutipan ayat di atas 
pun (bagi yang percaya) jelas bahwa hanya orang 
berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Dan pada 
QS 2:164 & 266 dinyatakan bahwa pelajaran dari 
Tuhan hanya untuk kaum yang memikirkan dan ada 
anjuran kepada manusia beriman untuk senantiasa 
berfikir dan mempergunakan akal.

Kembali ke masalah Genesis. Saya tidak tahu 
apakah para ahli archeology dan geology serta 
paleontology terpengaruh dengan ayat-ayat 
Genesis, bahwa Tuhan menyiapkan 'dunia' (dapat 
juga alam raya) dalam 6 masa, atau studi para 
ahli yang menghasilkan sesuatu yang cocok 
dengan Genesis. Yang jelas dalam teori evolusi 
kehidupan memang terbagi dalam 6 masa. 
Periode penciptaan materi (makrokosmos - 
genesis itu sendiri), Archeozoikum, Proterozoikum, 
Paleozoikum, Mesozoikum dan Cenozoikum. 
Penciptaan materi berjalan sangat panjang, 
milyaran tahun hitungannya, dan konon bersamaan 
pula dengan ordinasi benda-benda langit. Semakin 
mendekati Cenozoikum evolusi 'bumi' berlangsung 
semaking cepat. Diduga itu karena peranan bentuk-
bentuk kehidupan yang mulai lahir dari suatu sistem 
'bubur' atau koloid (The Clot, al-'Alaq). Ternyata 
antara "Be and it is" terbentang proses atau berjalan 
dalam waktu yang sangat lama.

Bila genesis berlangsung selama ordinasi benda 
langit - maka masalah perhitungan waktu, dari 
detik hingga tahun atau windu, seharusnyalah 
menjadi peristiwa religius yang perlu sekali dipelajari 
dan diambil hikmahnya. Namun perlu pula diingat, 
bahwa hanya kaum yang memikirkanlah yang dapat 
mengambil pelajarannya. Dari situlah saya mencoba 
berangkat dan memahami bahwa pergantian tahun, 
memang bukan peristiwa agama tertentu, melainkan 
suatu peristiwa religius bagi seluruh isi bumi. Buktinya 
banyak kantong-kantong kebudayaan berusaha 
memperhitungkannya dan diberi lambang-lambang 
religius, dalam rangka menyesuaikan kehidupannya 
dengan keselarasan alam. Dan kebetulan pula bahwa 
budaya (bangsa) yang sangat memperhatikan peredaran 
waktu (termasuk pergantian tahun - yang terjadinya 
tidak perlu sama antar lokasi) adalah bangsa-bangsa 
yang sejak awal perkembangannya adalah bangsa-
bangsa agraris. Dan ketika budaya agraris itu mulai 
ditinggalkan, maka umumnya yang terjadi adalah 
ketidak seimbangan alam. 

Salah satu sebab - menurut pendapat saya - adalah 
semakin diabaikannya perhitungan kalender asli yang 
sesuai dengan letak geografi bangsa-bangsa yang 
bersangkutan. Terabaikannya hitungan itu biasanya 
dibarengi dengan menurunnya arti 'sakral' perhitungan 
waktu itu sendiri. Contoh yang pernah tercatat sejarah 
adalah hancurnya budaya Aztec di Mexico, yang 
konon terjadi akibat dari letusan gunung Krakatau 
pada sekitar 50 tahun sebelum Nabi Muhammad 
lahir. Awan tebal berbahan materi sambungan 
Jawa-Sumatra yang terangkat ke angkasa menutup 
sebagian kantung-2 budaya dunia mengacaukan 
perhitungan musim, membuat kuil-kuil Aztec dan 
pemuka-pemuka agamanya ditinggalkan umat, karena 
tidak mampu lagi menjadi tempat 'bertanya'.

Adakah gejala demikian sedang berlangsung di Indonesia 
 - yang beriklim tropika-moonsoon tetapi semakin terasa 
gersang - sekarang ini? Saya hanya mampu berfikir 
sekaligus khawatir, ketika perhitungan musim dan 
pergantian tahun yang dulu pernah memiliki 'legitimasi' 
religius asli Nusantara ditinggalkan orang. Usaha 
pertanaman pertanian yang dianggap sebagai penerapan 
teknologi modern dan revolusi hijau, bukankah sudah 
terlihat mencoba mengingkari keteraturan kosmos? 
Sedang, urusan pertanian di Indonesia ini berkaitan 
dengan 212 juta mulut dan perut manusia penghuninya. 
Dewasa ini modal pertanian Nusantara hanya 15% 
dari total daratannya saja. Mampukah? Atau, tidakkah 
kita mulai berfikir ke arah sini, bukannya berkutat pada 
fatwa larang melarang sesuatu, sehingga terkesan 
menjadi bangsa (umat) yang kerdil dalam berfikir? 
Sungguhpun yang dipikirkan itu adalah kepentingan 
bersama menyambut masa depan yang merupakan 
'hutang' kita kepada generasi mendatang. 

Alam raya (dan dunia) dipersiapkan dalam 6 masa. 
Kita sekarang dalam masa ke-7. Akankah segera 
diselesaikan? Kelihatannya bumi memang sudah 
memasuki periode overripe, menuju senescence. 
Gejala necrosis bumi akankah berawal dari Nusantara 
yang dulu dikagumi sebagai zamrud khatulistiwa ini?


5 Januari 2003
KDP
-----------------------------------
Catatan: 
Dua ayat QS 3:190-191 (beberapa
tarjamah QS:189-190) di atas adalah awal sub-
surat Ali Imran yang diberi judul (oleh para ahli
tafsir) "Kemenangan Akhir dari Keimanan" (Ultimate
Triumph of the Faithful), sebagai akhir kemenangan
orang-orang beriman atas yang tidak beriman. Dua
ayat ini dinyatakan sebagai pendefinisian karakter
orang-orang beriman dalam menjalankan keimanan-
nya. Orang beriman adalah yang selalu dalam ke-
adaan ingat akan Allah, baik dalam sepi (zahid),
istirahat maupun dalam keadaan giat menyiasati
alam. Dalam mengelola alam, mereka tidak pernah
lepas dari mengingati pencipta dan pemilik alam
itu. Mengingati Tuhan adalah dalam segala keadaan
selama kesadaran masih ada dalam diri manusia,
sehingga selalu ingat bahwa segala makhluk Tuhan
adalah tidak diciptakan dalam sia-sia. Jadi bertindak
mengelola alam (sebagai khalifah) adalah berdasarkan 
pengetahuan 'knowledge' dan selalu mengingati
Allah. [dari ulasan ayat pada "Holy Qur'an", 
Maulana Muhammad Ali, LAHORE, 1995]